Senin, 07 Oktober 2013

Tak Ada Jalan Pintas

Belakangan ini kita dipusingkan kembali oleh issue investasi bodong yang dilakukan oleh koperasi Langit Biru dan Gradasi Anak Negeri. Sebenarnya ini bukan cerita baru, bahkan beberapa tahun lalu ada kasus serupa dengan kehebohan yang lebih besar, yang dilakukan oleh PT. QSAR (Qurnia Subur Alam Raya). Kasus QSAR menimbulkan kehebohan, karena beberapa pejabat tinggi pemerintahan ikut menjadi korban investasi yang beroperasi dengan skema ponzi ini. Per definisi, skema ponzi berarti portfolio investasi yang sarat kecurangan (fraudulent), yang membayar hasil investasi kepada investornya dengan menggunakan uang mereka sendiri atau uang yang disetorkan oleh investor-investor berikutnya; bukannya dengan menggunakan keuntungan yang didapatkan dari operasi bisnis perusahaan tersebut. Skema Ponzi umumnya menawarkan iming-iming yang sangat menggiurkan dibandingkan dengan portfolio investasi lainnya, umumnya dalam bentuk tingkat keuntungan jangka pendek yang super-tinggi. Dengan demikian, untuk mengongkosi tuntutan pembayaran keuntungan yang super-tinggi tersebut, pengelola membutuhkan aliran dana yang kencang dengan cara merekrut sebanyak-banyaknya investor baru. Alhasil, tanggul kas pun tak perlu menunggu waktu lama untuk jebol menjadi persoalan gagal-bayar. Sebenarnya, dengan logika bisnis yang paling kreatif sekalipun, praktek skema ponzi adalah sebuah langkah investasi yang tak masuk akal. Namun, begitulah manusia – termasuk manusia Indonesia tentunya -, banyak yang tak sabar untuk menanam usaha, namun ingin segera menuai hasil. Semua ingin melihat hasil usaha secara instan, seperti kisah mitologi penciptaan candi Prambanan yang secara adrakadabra selesai dalam semalam. Ada yang menyebut mentalitas ini sebagai mentalitas terabas, instan ataupun potong jalan pintas. Padahal, agama manapun jauh-jauh hari sudah mengajarkan umatnya, bahwa untuk setiap kenikmatan yang kita cicipi, perlu ada keringat yang harus kita teteskan. Saya teringat dengan nasehat yang pernah diberikan oleh guru saya. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara profit, profitabilitas dan sustainabilitas. Ini sebuah pola pikir yang menarik, karena umumnya kita jarang memikirkan secara seksama ketiga hal tersebut, yang sekilas terkesan mirip dan tak berbeda. Katanya lagi, “sebuah perusahaan bisa saja mencetak profit di laporan keuangannya, namun sebenarnya tak mempunyai profitabilitas”. Nah loh..., bagamaina pula ceritanya? Di dalam bisnis, secara umum kita mengenal dua jenis pendapatan, yakni : operating income dan other income. Operating income adalah pendapatan yang kita peroleh dari hasil operasi bisnis kita, sementara other income adalah pendapatan yang kita peroleh bukan dari hasil operasi bisnis, namun dari hal di luar bisnis semisal penjualan aset menganggur dsb.nya. Perusahaan dikatakan memiliki profitabilitas (kemampuan mencetak keuntungan), jika memang mampu menciptakan operating income yang lebih besar dari biaya operasi-bisnisnya (operating cost). Dengan demikian, jika ada perusahaan yang bisa mencetak profit, sementara tak memiliki profitabilitas, pastilah sebagian pendapatan perusahaan diperolehnya lewat jalur non-bisnis lain-lain alias other income. Bisnis yang sehat harus memastikan bahwa keuntungan yang diperolehnya memang betul-betul dari operasi bisnisnya (operating income), bukan dari faktor-faktor di luar operasi bisnis (other income). Mengapa? Karena dari namanya saja sudah disebut other income, artinya itu jenis pendapatan yang tak bisa dipastikan eksistensinya setiap saat. Mirip seperti rezeki nomplok, yang bisa saja datang tiba-tiba, dan kemudian menghilang tak berbekas. Lebih jauh, guru saya juga mengingatkan bahwa perusahaan yang memiliki profitabilitas pada saat ini, tak serta merta akan berhasil mempertahankan profitabilitasnya di masa-masa yang akan datang. Sudah banyak contoh yang bisa kita lihat, perusahaan yang semula begitu sehat dan berjaya, beberapa tahun kemudian tersaput hilang oleh derasnya arus kompetisi dan kencangnya dinamika perubahan. Perusahaan harus bisa memastikan dirinya untuk beroperasi secara unggul alias mempunyai operational excellence , agar profitabilitas dapat terjaga secara berkelanjutan (sustainabilitas). Untuk mencapai operational excellence, tak ada pilihan lain kecuali perusahaan musti peduli kepada detil operasi bisnis, yang juga berarti cermat mengolah dan menjalani setiap proses bisnis di dalamnya. Karena, kinerja keseluruhan organisasi sejatinya adalah penjumlah kumulatif dari kinerja setiap proses bisnis yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks penganalisaan laba-rugi perusahaan, semestinya para pelaku bisnis tak hanya berhenti dan terpukau pada urusan P&L (profit-loss atau laba-rugi) perusahaan secara keseluruhan saja (overall bottom-line), namun sebaliknya secara seksama menganalisa P&L pada tingkatan yang paling kecil (the smallest level of P&L). Katakanlah untuk perusahaan maskapai penerbangan, pelaku usaha di bidang tersebut hendaknya bisa menelaah kinerja keuangannya pada tingkatan P&L per armada atau pesawat. Demikian pula, untuk perusahaan jasa pembiayaan, P&Lnya harus bisa ditelusuri secara detil hingga tingkatan P&L per kendaraan yang dibiayai. Dengan melakukan analisa P&L secara detil hingga tingkatan yang paling kecil, perusahaan bisa memastikan apakah kinerja keuangan yang diraihnya sungguh-sungguh berasal dari operasi bisnis yang excellent atau faktor di luar operasi bisnis, semisal nasib baik atau rezeki sesaat belaka. “Sembilan dari sepuluh bisnis tak bisa bertahan langgeng, karena tak memiliki operational excellence. Mereka tak cermat dalam mengeksekusi detil dari setiap proses bisnis dan menganalisa implikasi keuangan yang diakibatkannya. Bagaimanapun, business operation yang baik membutuhkan perhitungan yang cermat dan eksekusi yang tajam; tak bisa mengandalkan luck (keberuntungan) semata”, demikian kata sang guru. Pada akhirnya, sepanjang detil operasi bisnis tertata rapi, diperhitungkan secara cermat, dan dieksekusi secara tekun dan seksama, niscaya hasil dan keuntungannyapun akan hadir secara berkesinambungan. Ringkasnya, tak ada jalan pintas, juga tak ada sikap tergesa-gesa, serta tak ada pula sikap menyerahkan bisnis dan investasi kita kepada nasib-baik semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar