Kamis, 23 Januari 2014

Perusahaan Kelas Dunia

Kita pasti pernah mendengar jargon “world class company” alias perusahaan kelas dunia. Hampir dapat dipastikan juga, bahwa semua pelaku usaha menginginkan agar perusahaannya bisa menjadi perusahaan kelas dunia. Namun, apa sesungguhnya perusahaan kelas dunia itu? Boleh jadi semua orang membicarakan istilah yang sama dan juga mempunyai cita-cita yang sama – yakni perusahaan kelas dunia -, namun dengan pengertian yang berbeda-beda. Memang, wacana “world class company” dalam kajian manajemen adalah salah satu wacana yang paling ambigu alias tak terdefinisi secara mutlak. Silahkan anda masuk ke piranti penelusuran Google dan mencari makna kata tersebut, niscaya anda akan menemukan definisi yang begitu beragam. Jika ditanyakan mana di antara definisi-definisi tersebut yang benar adanya, toh kita tak bisa menjawabnya secara pasti. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Salah satu pakar yang merumuskan pengertian World Class Company secara komprehensif adalah Rosabeth Moss Kanter, guru besar bidang strategi bisnis dari Harvard Business School. Dalam bukunya, World Class : Thriving Locally in The Global Economy (1997), Kanter merumuskan minimal ada dua kualifikasi yang harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan kelas dunia. Pertama, operasi atau proses bisnis perusahaan tersebut harus mampu menghasilkan standar produk dan layanan yang paling tinggi, yang mampu bersaing dengan produk dan layanan di belahan dunia manapun. Kedua, manusia di dalam organisasi tersebut juga memiliki kualifikasi yang hebat, yang mampu bekerja dan beroperasi secara lintas teritori atau di manapun berada. Kanter juga menyebut perusahaan-perusahaan kelas dunia yang mampu beroperasi dengan dua kualifikasi di atas sebagai ‘warga korporasi kosmopolitan”. Istilah kosmopolitan ini mengacu kepada warga yang mampu eksis di belahan kosmos manapun; yang sanggup tinggal di benua apapun, berbicara dalam beberapa bahasa, dan beradaptasi dengan beragam budaya. Sebagai terjemahan dari dua kualifikasi perusahaan kelas dunia di atas, warga korporasi kosmopolitan ini umumnya memiliki 3 C, yakni : (1) konsep (concepts) bisnis yang maju dan mutakhir, (2) kompetensi (competence) SDM yang hebat, dan (3) koneksi (connections) perdagangan yang luas di berbagai penjuru dunia.
Jika ditelusuri lebih lanjut, kriteria perusahaan kelas dunia yang disampaikan oleh Kanter pun tidak dirumuskan secara konkret dan kuantitatif. Tak ada batasan seberapa banyak dan mutakhir konsep bisnis yang harus diterapkan oleh sebuah perusahaan kelas dunia. Juga tak ada pengukuran kuantitatif tentang derajat kompetensi SDM yang harus dimiliki perusahaan kelas dunia. Demikian halnya pula, tak ada rumusan eksak tentang jumlah mitra bisnis manca negara yang harus dipunyai perusahaan kelas dunia. Yang lebih menarik, bagi Kanter, perusahaan kelas dunia tak harus selalu perusahaan yang memiliki wilayah operasi di berbagai negara, yang juga kita kenal sebagai global-company. Perusahaan yang hanya beroperasi secara lokal atau regional pun (local and regional companies) bisa meraih predikat perusahaan kelas dunia. Ini berarti, rumusan kelas dunia tidaklah ditentukan oleh cakupan wilayah operasi bisnis, namun terutama oleh kualitas SDM yang dimiliki, proses bisnis yang dijalankan , serta produk dan layanan yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Guru saya mempunyai rumusan tentang perusahaan kelas dunia yang sangat ringkas, namun menarik. Katanya, “perusahaan kelas dunia adalah perusahaan yang secara sungguh-sungguh strive for the best alias berjuang untuk meraih yang terbaik”. Kelihatannya rumusan ini sederhana, namun sungguh ini bukan rumusan yang tanpa makna. Mari kita lihat contoh dunia olah-raga, yang dianggap sebagai salah satu bidang kehidupan yang paling kompetitif. Pemecahan rekor dengan cepat terjadi seiringnya dengan bergantinya waktu. Kadang pemecahan rekor terjadi bukan dalam hitungan tahun, namun dalam hitungan bulan, bahkan hari. Demikian juga, tim yang tahun ini menjadi juara, bisa jadi tak mendapatkan apa-apa di tahun berikutnya. Hal ini bisa terjadi, karena selain sikap sportivitas, hakekat dari olah-raga yang sesungguhnya adalah kompetisi. Dan, bukankah kompetisi juga merupakan hakekat dasar dari operasi bisnis pada masa kini? Di dunia olah-raga sepak-bola, kita mengenal tim-tim seperti Barcelona, Real Madrid, Manchester United, AC Milan, yang tanpa perdebatan panjang lebar diamini publik sebagai tim sepakbola kelas dunia, padahal tim-tim tersebut hanya eksis di Spanyol, Inggris serta Italia, dan tak membuka cabang ataupun tempat pelatihan di manca negara. Demikian pula, pelatih seperti Sir Alex Ferguson, Pep Guardiola, Carlos Ancelloti, tanpa pertentangan pandangan, juga diakui publik sebagai pelatih kelas dunia, padahal mereka tak punya banyak pengalaman melatih di banyak tim, apalagi tim lintas negara. Bukankah menjadi jelas, bahwa menjadi entitas kelas dunia (entah itu pelatih dan tim olah-raga, serta juga organisasi perusahaan) bukanlah perkara cakupan teritori dan operasi lintas negara, namun terutama adalah spirit strive for the best yang ditunjukkan. Karakteristik strive for the best-lah, yang membuat publik secara serentak mengakui Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Sir Alex Ferguson dan Pep Guardiola adalah entitas-entitas kelas dunia. Akhirul kalam, apakah strive for the best sudah menjadi bagian dari budaya organisasi kita? Karena, semangat itulah yang menjadi jembatan kultural bagi sebuah perusahaan untuk beranjak menjadi perusahaan kelas dunia.

Senin, 13 Januari 2014

Auto-pilot atau Primus Inter Pares

Belakangan ini kita sering mendengar tentang wacana “negeri auto-pilot”. Kalangan yang tidak puas dengan jajaran pemerintah merasa bahwa negara (pemerintah dan perangkat negara lainnya) seolah-olah tak eksis ketika keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat. Rakyat butuh keamanan, namun kenyataannya aparat tak berada di tempat untuk menjalankan fungsinya. Rakyat butuh kepastian aturan-main, namun ternyata pemerintah tak menentukan sikap dan regulasi. Rakyat mengharapkan perbaikan nasib secara mikro, namun angka indikator ekonomi yang manis hanya berhenti secara makro. Dengan demikian, jika diibaratkan sebuah pesawat terbang, negara ini seperti pesawat yang terbang sendiri tanpa kendali seorang pilot. Negara ini seolah-olah bisa bergerak sendiri, dan tak membutuhkan kehadiran sosok pemimpin sebagai pilot. Mengenaskan? Nanti dulu... Kepercayaan dan harapan yang semakin pudar terhadap peran seorang pemimpin ternyata tak hanya terjadi di negara ini. Andrea Ovans, editor majalah Harvard Business Review dalam artikelnya bertajuk When No One’s In Charge (HBR, May 2012) menegaskan bahwa situasi yang sama ternyata menyeruak di banyak negara. Di Amerika Serikat, kepercayaan terhadap konggres semakin hari juga semakin menurun. Presiden yang dianggap sebagai pembaharu seperti Barrack Obama pun saat ini berjuang keras untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari publik Paman Sam. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Eropa, bahkan beberapa pemimpin di benua biru tersebut harus turun panggung akibat tak dipercaya lagi oleh rakyatnya. Kondisi di beberapa negara Timur Tengah bahkan lebih buruk lagi. Survey yang dilakukan terhadap dunia korporasi ternyata sama saja. Di Amerika, hanya 45% publik yang menaruh rasa percaya kepada eksekutif-eksekutif perusahaan-perusahaan besar, dan itu pun mereka percaya secara moderat saja. Selebihnya, mereka lebih bersikap apatis atau juga penuh curiga. Ketidakpuasan terhadap figur pemimpin memang meruyak ke pelbagai belahan dunia, dan juga beragam ranah kehidupan. Dari Asia hingga Amerika, dan dari ranah politik sampai dunia korporasi. Alih-alih berpaling mencari sosok pemimpin baru, mereka justru lebih tertarik untuk melakukan gerakan tanpa pemimpin (leaderless movement), seperti yang terjadi pada fenomena gerakan “Occupy Wall Street” dan “Tea Party” di Amerika, serta “Arab Spring” di Timur Tengah. Gerakan-gerakan seperti itu ingin menunjukkan bahwa kerumunan masa tanpa pemimpin dapat menciptakan kekuatan dan pengaruh yang tak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan sosok individual yang diamanahkan sebagai pemimpin. Bahkan profesor Barbara Kellerman dari Harvard University memberi judul buku barunya The End of Leadership (2012), yang ingin menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran titik kepemimpinan, dari yang bertumpu kepada satu atau segelintir orang di tampuk kekuasaan menuju kepada banyak orang di jajaran masyarakat biasa. Kellerman menunjukkan konsisten pergeseran titik berat kepemimpinan tersebut dari waktu ke waktu, yang dimulai dari sejarah kepemimpinan para dewa-dewi Yunani dan Romawi kuno yang digdaya, menuju pemimpin-pemimpin religius semisal Abraham dan Buddha, selanjutnya menuju para raja-raja yang juga filosof ternama, kemudian menuju pemimpin monarki konstitusional, dan selanjutnya menuju para anggota dewan perwakilan terpilih yang memimpin dengan persetujuan rakyat yang semakin hari semakin membesar. Bagi Kellerman, pola pergeseran tersebut begitu konsisten, yakni titik kekuasaan yang semakin menyebar kepada banyak orang, dan tak bertumpu kepada satu atau segelintir penguasa saja. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah kita pada akhirnya bergerak ke arah yang ekstrim, saat praksis kepemimpinan tak lagi dibutuhkan dan akan berujung kepada “the end of leadership”? Menarik apa yang disimpulkan oleh Ovans dalam tulisannya di atas, bahwa pada akhirnya kepemimpinan tak akan pernah berujung, karena itu bagian dari peradaban manusia. Skeptisisme terhadap kepemimpinan sesungguhnya tertuju kepada kepemimpinan yang buruk, bukan kepada kepemimpinan secara keseluruhan. Bagaimanapun, sepanjang peradaban manusia bergulir, sepanjang itu pula kepemimpinan dibutuhkan. Solusi terhadap kepemimpinan yang buruk (bad-leadership) bukanlah menghapuskan praksis kepemimpinan itu sendiri (no leadership). Merumuskan paradigma kepemimpinan yang seiring dengan perkembangan zamannya, itulah tantangan para pemimpin yang paling nyata saat ini. Bagi saya, pilkada DKI yang baru berlangsung tanggal 11 Juli 2012 meninggalkan permenungan yang menarik. Hasil pilkada putaran pertama yang menempatkan Jokowi-Ahok sebagai peraih suara tertinggi, telah menjungkir-balikkan hasil survey awal yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey yang menempatkan calon petahana (incumbent) dalam posisi pertama. Dengan seragam kotak-kotaknya, Jokowi-Ahok menyambangi warga-warga Jakarta, berbicara, berjalan dan mendengarkan langsung kepada mereka, seolah-olah tak ada jarak dan perbedaan status antar mereka. Mereka mengenakan pakaian yang sama dengan warganya, bertutur kata dengan bahasa yang sama dengan warganya, serta menikmati makanan dan minuman yang sama dengan warganya. Secara pribadi, saya berharap “egalitarianisme” yang ditunjukkan oleh pasangan tersebut memang sungguh-sungguh merupakan sikap dan kebiasaan keseharian mereka, bukan sekadar pencitraan sesaat yang dilakukan dalam rangka meraup simpati warga sepanjang kampanye pilkada. Guru saya pernah berkata, sejatinya seorang pemimpin tak lebih dari sekadar primus inter pares atau first among equals. Pemimpin adalah makhluk yang sama dengan orang-orang yang dipimpinnya, dan oleh karenanya mempunyai derajat kemanusiaan yang sama pula. Pemimpin bukanlah makhluk manusia setengah-dewa, yang membuat mereka seakan-akan berbeda “alam dan hakikat” dengan manusia-manusia yang dipimpinnya. Pemimpin juga bukan “superman”, yang membuat mereka merasa mempunyai hak untuk berperilaku super (utamanya super berkuasa) atas manusia-manusia yang dipimpinnya. Sebagai primus inter pares, pemimpin adalah sosok yang sama dan sederajat (equal) dengan makhluk-makhluk yang dipimpinnya. Hanya saja, mereka diberi kesempatan untuk berjalan di urutan yang pertama, agar bisa menuntun orang-orang di belakangnya. Tak lebih tak kurang, itu saja