Rabu, 12 Februari 2014

Sustainable Development

Dalam seminggu, saya dihadapkan tiga wacana terpisah, namun rasanya terkait erat satu dengan lainnya. Pertama, halaman depan media masa nasional yang memuat gambar sebagian lahan hutan yang gundul akibat pemanfaatannya sebagai dam tailing (limbah) tambang emas di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Walaupun, perusahaan berjanji akan melakukan reklamasi setelah proyek penambangan usai, pemandangan seperti ini sungguh tak mengenakkan pandangan mata. Kita pasti tahu, masih banyak kawasan hutan yang mengalami deboisasi, entah itu untuk proyek pertambangan, perkebunan dan industrialisasi lainnya. Kedua, satu hari kemudian saya berdiskusi perihal kemacetan lalu lintas Jakarta dengan seorang sahabat yang lama tinggal di Eropa. Kesemrawutan lalu-lintas di ibukota, yang mendatangkan pemborosan dalam berbagai hal : waktu tempuh, bahan bakar dan juga kualitas hidup secara keseluruham, menimbulkan kegelisahan pada sang teman. Ia merasa banyak pihak di Jakarta yang tak peduli dengan urusan yang satu ini, dan saat ini seperti bom-waktu yang dapat meledak setiap saat. Banyak warga penghuni Jakarta (termasuk saya), yang saking terbiasa mengalami kondisi buruk transportasi di ibu kota, perlahan tapi pasti kehilangan sensitivitas terhadap persoalan tersebut. Saya terhenyak dengan pertanyaan lirih sang teman, “pernahkah dibayangkan suatu hari, entah itu di tahun 2013 atau 2014, anda sudah menemukan kemacetan lalu-lintas persis ketika anda keluar dari tempat kediaman anda?”. Sang teman tak sedang bercanda, karena beberapa orang pada jam tertentu, sudah mengalaminya saat ini. Yang ketiga, saat beranjak istirahat malam saya menonton tayangan wawancara di sebuah televisi swasta. Pemandu acara Desy Anwar mewawancarai seorang pria Perancis yang akrab dipanggil Chanee, yang selama 14 tahun berjuang untuk menyelamatkan hewan primata siamang di hutan Kalimantan dan Sumatera lewat yayasan bernama Kalaweit. Seorang anak muda, yang dengan semangat dan idealismenya, meninggalkan tanah kelahirannya Perancis dan mengabdikan hidupnya di masa muda untuk upaya pelestarian primata siamang, makhluk yang ternyata memiliki kemiripan perilaku yang tinggi dengan manusia. Dalam wawancara tersebut, Chanee mengungkapkan keprihatinannya terhadap pengurangan yang terjadi secara signifikan atas keanekaragaman hayati di belantara tropis Indonesia, karena proses deboisasi yang terus terjadi baik secara legal ataupun ilegal. Ketiga wacana yang terjadi secara beruntun dalam minggu yang sama menuntun saya pada pergulatan pemikiran tentang esensi dari “pembangunan” itu sendiri. Bukankah secara hakiki pembangunan berarti adanya peningkatan peradaban, bukan hanya untuk kita yang hidup di masa kini, namun juga untuk generasi yang akan datang. Bahkan seorang tokoh muda Chanee (bernama asli Aurelien Brule) telah mengajarkan kepada saya juga bahwa peradaban tak hanya menyangkut kehidupan manusia, namun juga kehidupan makhluk semesta lainnya yang diciptakan Tuhan dalam keanekaragamannya. Karena pembangunan adalah sebuah kontinum, dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, semestinya pembangunan juga harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Proyek pembangunan saat ini semestinya dibangun di atas landasan yang sudah disiapkan oleh pembangunan sebelumnya, demikian juga pembangunan saat ini seharusnya pula menjadi fondasi bagi pembangunan di masa yang akan datang. Perserikatan Bangsa Bangsa, pada tahun 1987, mengeluarkan sebuah laporan resmi yang dikenal dengan Brundtland Report, yang secara tegas mendefinisikan pembangunan berkesinambungan sebagai “the development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Patut dicatat pula, laporan tersebut juga memberikan penekanan the present generation kepada kelompok miskin, yang seringkali terabaikan dan tak mendapat prioritas perhatian. Maklum saja, pejabat tinggi dan orang kaya yang punya kuasa, tanpa perlu didorongpun, sudah pasti akan memberikan perhatian kepada kerabat dan anaknya yang notabene sudah hidup berkecukupan juga. Namun bila menyangkut orang miskin, mungkin hanya para idealis dan penggiat kemanusiaan yang secara naluriah terpanggil untuk memikirkannya. World Summit 2005 yang diselenggarakan oleh PBB pun telah menghasilkan dokumen tentang sustainable development, yang intinya memperluas dimensi pembangunan ke dalam tiga cakupan, yakni : pembangunan ekonomi (economic), pembangunan sosial (social) dan pembangunan lingkungan (environmental). Keseimbangan di antara ketiga dimensi di atas adalah kata kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan. Namun sayangnya, seringkali pembangunan ekonomi berjalan kencang melampaui pembangunan-pembangunan lainnya. Bahkan bukan hanya melampaui, namun juga ikut mengorbankan seperti yang tercermin dalam tiga wacana pembuka di atas. Hutan yang menjadi gundul akibat kegiatan penambangan, kehidupan sosial kemasyarakatan yang sumpek akibat transportasi publik yang semrawut, serta kepunahan keanekaragaman hayati negeri ini secara perlahan-lahan. Pertanyaannya sekarang, siapa yang harus mulai memikirkan dan mengimplementasikan proyek besar sustainable development. Yang paling mudah ditunjuk memang adalah pemerintah, karena pemerintah adalah regulator yang berfungsi untuk mengatur kebijakan dan mengawasi implementasi dari kebijakan tersebut. Namun, bukankah pada kenyataannya pemerintah sudah lama “angkat-tangan” untuk urusan ini, entah alasan keterbatasan aparatus, penetapan prioritas agenda yang berbeda-beda, hingga ketidaktegasan kepemimpinan. Lalu, bagaimana dengan pihak swasta? Kita pasti akan gampang memahami bahwa tugas swasta adalah melakukan bisnis sebaik-baiknya, agar mampu meraup keuntungan yang maksimal. Sepanjang perusahaan bisa mendatangkan keuntungan bagi pemegang saham, membayar pajak kepada pemerintah dan menciptakan lapangan pekerjaan, berarti bereslah sudah amanah dari sebuah perusahaan. Kembali ke cerita sang teman di atas yang lama bermukim di Eropa. Menurut sang teman, apa yang dialami oleh beberapa negara Eropa yang beringsut bangkrut saat ini (Yunani, Spanyol, Italia dan Portugal) adalah sebuah contoh betapa pembangunan yang tidak ditata secara berkesinambungan, pada akhirnya menghantam balik negara tersebut. Bukan hanya menghantam kepada pemerintahnya saja, namun juga perusahaan-perusahaan dan segenap warga negara yang ada di dalamnya. Sulit bagi kita membayangkan negara-negara Eropa di atas, yang hingga satu dasawarsa yang lalu, masih dikenal sebagai negara maju dengan peradaban yang modern, bisa terbelit krisis yang hingga kini tak pernah diketahui proyeksi pemulihannya. Bagi sang teman, pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar di Eropa memiliki kontribusi kesalahan yang sama. Indonesia digadang-gadang sebagai salah-satu negara maju dunia dalam kurun waktu sepuluh dan lima-belas tahun ke depan. Semoga kesadaran “sustainable development” tertanam kuat di benak kita semua. Ya pemerintah, perusahaan, media massa dan juga komunitas berpengaruh lainnya. --------