Senin, 21 Oktober 2013

Antara "Pembatasan" dan "Inovasi"

Hingga saat ini, kita tak pernah mengerti persis bagaimana kebijakan energi jangka panjang yang akan ditempuh oleh pemerintah, yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan ratusan juta rakyat Indonesia di masa yang akan datang. Perubahan rencana kebijakan dari waktu ke waktu, mulai dari kenaikan harga BBM bersubsidi, pengembangan BBM hibrida premix dengan mencampurkan premium dan pertamax, hingga pembatasan pemakaian BBM bersubsidi, ternyata hanya berujung kepada pembatasan pemakaian BBM bersubsidi oleh kendaraan pelat merah. Saat ini, mulai banyak yang meragukan pula keberlangsungan kebijakan tersebut, dan dampak positif yang ditimbulkannya. Seorang teman berseloroh, bagaimana pemerintah bisa menghemat anggaran belanja (yang merupakan salah satu tujuan utama kebijakan BBM jangka pendek), jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni mobil-mobil pemerintah justru diharuskan untuk membeli bahan bakar non subsidi yang harganya jauh lebih mahal? Selain ide pembatasan penggunaan BBM, sebuah ide alternatif dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa pada saat memberikan sambutannya dalam acara peringatan ulang ke-55 PT Astra International Tbk, awal bulan Mei yang lalu. Hatta menantang perusahaan raksasa otomotif Indonesia tersebut untuk ikut mencari solusi dan melakukan inovasi dalam menyelesaikan masalah BBM, yakni salah-satunya dengan cara membuat mobil irit bahan bakar minyak. Wacana tentang “pembatasan” dan “inovasi” selalu menjadi perdebatan klasik para ahli dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam yang jumlahnya terbatas dan tak dapat diperbaharui (non-renewable). Adalah Thomas Malthus (1766-1834), seorang pendeta Anglikan yang juga ahli ekonomi politik, yang mempelopori gerakan “pembatasan”. Malthus berpandangan, jika tidak dikendalikan atau dibatasi, maka populasi manusia akan bertambah menurut deret ukur (geometrik), sementara jumlah pangan tersedia hanya akan meningkat menurut deret hitung (aritmatik). Oleh karenanya, tak ada pilihan lain bagi manusia untuk bisa hidup bertahan dalam jangka panjang, kecuali membatasi jumlah populasi demi menjaga ketersediaan pangan. Beberapa studi dan kebijakan yang ditempuh oleh tokoh-tokoh ternama seperti Charles Darwin, John Maynard Keynes dan juga Mao Zedong sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mathus ini. Sementara itu, bertolak belakang dengan Malthus, muncul ide “inovasi” yang diluncurkan oleh Robert Solow (1924- sekarang), seorang guru-besar emeritus dari MIT dan peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi. Bagi Solow, tak perlu khawatir dengan persoalan kelangkaan pangan dan sumber daya alam lainnya. Kelangkaan seperti ini tak harus dilihat sebagai sebuah “bencana”, namun sekadar sebuah “peristiwa alamiah” yang pasti akan terjadi seiring dengan perjalanan peradaban manusia. Dan, Solow percaya, lewat kecerdasan dan kemampuannya, manusia akan mampu mengatasi persoalan tersebut lewat berbagai langkah inovasinya. Bagi para pengikut Solow, manusia bisa menggenjot pertumbuhan (growth) tanpa batas, karena inovasi (khususnya di bidang teknologi) memang tak berbatas. Dalam artikelnya bertajuk “Saving The Planet : A Tale of Two Strategies” (HBR, April 2012), Roger Martin dan Alison Kemper mengatakan bahwa kedua pendekatan di atas tak perlu diadu secara konfrontatif. Justru, jika kita ingin meraih progress yang nyata, kedua pendekatan tersebut dapat digabungkan dan diupayakan secara bersama-sama. Secara jangka pendek, memang kebijakan yang berorientasi “pembatasan” akan menciptakan dampak nyata, namun yang jelas tak akan menolong secara jangka panjang. Sebaliknya, kebijakan yang berorientasi”inovasi” akan menghasilkan solusi yang lebih sustainable, namun demikian kita membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk melakukan riset dan menghasilkan temuan inovatif. Bagi Martin dan Kemper, pemerintah bisa menerapkan kebijakan berorientasi “pembatasan” berbarengan dengan kebijakan berorientasi “inovasi”. Pemerintah bisa mendidik masyarakat agar dapat mengkonsumsi energi secara bertanggung-jawab, tanpa harus merasa khawatir akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sekaligus juga, pemerintah bisa menciptakan kebijakan harga, yang bisa merangsang dan mendorong proyek-proyek inovasi. Mantan wakil menteri ESDM, almarhum Widjajono Partowidagdo, menyesalkan kebijakan pemerintah yang “sempat” menurunkan harga BBM, karena penurunan harga ini tak simetris dengan mimpi pemerintah untuk mendorong masyarakat beralih dari kebiasaan mengkonsumsi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Pada akhirnya, pemerintah, masyarakat dan komunitas bisnis bisa ambil bagian secara bersama untuk menyelamatkan planet bumi ini, khususnya bumi Indonesia. Pemerintah bisa menciptakan regulasi yang bisa mendidik publik untuk mengkonsumsi energi secara bertanggung-jawab. Masyarakat juga bisa ikut ambil bagian dengan mengubah kebiasaan perilaku, baik kebiasaan dalam pemanfaatan energi secara bertanggung-jawab ataupun penyesuaian diri terhadap teknologi baru yang inovatif. Dan, komunitas bisnis bisa berpartisipasi dengan menggarap proyek-proyek inovasi yang dapat menyiasati persoalan energi secara kreatif. Jadi, antara “pembatasan” dan “inovasi”, tak perlu dikonfrontasikan ataupun diprioritas satu sama lainnya. Keduanya bisa dilakukan pada saat yang bersamaan, dengan hasil yang bahkan jauh lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar