Kamis, 29 Agustus 2013

Compassion

Buku pemikir agama terkemuka di dunia, Karen Armstrong, yang berjudul Twelve Steps to a Compassionate Life (2010), mendapatkan sambutan yang luar biasa di pelbagai penjuru bumi. Tak terkecuali di Indonesia, dalam rangka perayaan ulang tahunnya yang ke 30, Penerbit Mizan telah mengundang Karen untuk memberikan ceramah sekaligus mendeklarasikan “Charter of Compassion” (Piagam Welas Asih). Bukanlah sebuah kebetulan juga, jika kesepakatan “Charter of Compassion” di Indonesia itu berbarengan dengan peluncuran “Gerakan Islam Cinta”, sebuah gerakan sosial keagamaan yang digagas Penerbit Mizan dengan mengutamakan prinsip cinta-kasih dan sikap bela-rasa dalam interaksi masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Buku Twelve Steps to a Compassionate Life tak hanya berisi hal-hal yang bersifat teoretis, namun dilengkapi dengan 12 langkah konkret untuk mewujudkan tindakan compassion atawa welas-asih. Di tingkat komunitas, seperti yang telah disinggung di atas, Karen juga menggagas inisiatif besar untuk meratifikasi “Charter of Compassion”, sebuah pakta kesepahaman tentang persetujuan atas sikap dan tindakan welas-asih. Sudah banyak komunitas dan organisasi di berbagai belahan dunia yang mengamini pakta tersebut, seperti warga kota Seattle – Amerika Serikat, yang mencoba menerapkan prinsip compassion setelah kasus penembakan polisi terhadap seorang warga lokal, ataupun masyarakat pendidikan Pakistan yang memasukkan konsep compassion dalam semua mata pelajaran sekolah. Yang menarik adalah, sesuai pengakuan Karen di dalam wawancaranya bersama Haria Kompas (23 Juni 2013), komunitas yang paling aktif dan maju dalam upaya mengadaptasi charter of compassion adalah organisasi bisnis atawa perusahaan. Saya katakan menarik, karena perusahaan yang selama ini dipersepsikan sebagai organisasi yang berwatak transaksional dan memburu rente, justru malah lebih antusias mempromosikan gagasan welas-asih dibandingkan dengan organisasi sosial dan pendidikan yang dari “sono”nya dituntut untuk menggarap urusan kemanusiaan. “Para pengusaha tertarik mengembangkan prinsip welas-asih karena keserakahan terbukti tidak bagus untuk bisnis, bahkan bisa merusaknya. Anda berbagi kepada sesama, dan Anda akan memperoleh lebih banyak lagi”, demikian tegas Karen. Sebenarnya, praksis compassion tidaklah benar-benar baru dalam komunitas bisnis. Beberapa filantropis dunia seperti Andrew Carnegie dan John D Rockefeller adalah contoh generasi bisnis tempo doeloe yang sangat murah-hati mengulurkan dana triliunan untuk santunan sosial-kemanusiaan. Saat ini, kita juga tahu ada tokoh-tokoh bisnis dunia seperti Bill Gates dan Warren Buffett (dan juga taipan bisnis di Indonesia seperti Dr. Tahir dan Jusuf Kalla) yang tak segan mendonasikan dana besar bagi keperluan humanity and social-responsibility. Namun, sesungguhnya apa makna compassion dalam pengertian Karen Armstrong? Apakah sekadar rasa kasihan terhadap yang berkekurangan, dan mengulurkan bantuan altruistik kepada mereka? Rasa kasihan (pity) jelas tidak salah, namun pengertian compassion juga jelas tidak berhenti di situ. Kata Karen, “compassion is not feeling sorry for people, or a pity. Compassion is about to endure with another person, put yourself in their shoes”. Sikap welas-asih adalah bentuk keterlibatan aktif kita terhadap kehidupan orang lain, terutama yang berkekurangan. Yang lebih penting lagi, sikap compassion bukanlah sesuatu yang naif dan utopis, dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang sekelas nabi. Sebaliknya, compassion adalah sesuatu yang bersifat manusiawi, dan dibangun diatas kaidah-kaidah perkembangan manusia secara alamiah. Guru kebajikan Konfusius (551-479 SM) jauh-jauh hari sudah mengatakan “jangan melakukan kepada orang lain, apa yang kita tak ingin mereka lakukan kepada kita”. Kalau kita tak hendak disakiti oleh orang lain, maka sudah selayaknya juga kita jangan berperilaku demikian terhadap orang lain. Sebaliknya juga, jika kita ingin dicintai oleh orang lain, maka tak perlu ragu pula untuk menunjukkan sikap belas-kasih kepada mereka. Lebih jauh, kita pun tak perlu beralasan bahwa demi mempertahankan hidup (survival of the fittest), kita harus bersaing, dan jika perlu mengorbankan orang lain. Teori evolusi modern sudah menunjukkan bahwa untuk bertahan hidup (survival), manusia tak hanya butuh persaingan (competition), namun sebaliknya juga kerja sama (cooperation). Otak manusia modern juga telah mengalami evolusi, beralih dari “otak tua” yang dipenuhi dengan sifat-sifat haus kekuasaan semisal “bertarung, bersaing dan mengalahkan orang lain” menuju “otak muda” yang dilingkupi oleh sifat-sifat yang cinta keindahan seperti “berdiam diri, berempati dan mengasihi orang lain”. Kata guru saya setengah bercanda, hidup bukanlah sekadar “memenangkan pertarungan atas orang lain”. Jika kita hanya menang atas orang lain, boleh jadi kita akan menangis di kemudian hari. Lebih jauh, hidup adalah kesempatan untuk “terlibat dengan kehidupan orang lain”. Dengan sikap terlibat, kiranya hidup kita sebagai manusia akan menjadi jauh lebih bermartabat. Bagi saudara-saudara yang menjalankan, saya haturkan selamat menunaikan ibadah puasa, tentunya juga ...dalam semangat welas-asih.

Selasa, 20 Agustus 2013

Sir Alex Ferguson : A Level-5 Leader


Berita pensiunnya Alex Ferguson dari kursi kepelatihan Manchester United pada awal Mei 2013 menjadi bahan perbincangan yang sungguh menarik. Kebetulan, secara pribadi saya adalah penggemar sepak-bola (khususnya Barclays Premier League), dan fans setia tim berjuluk Setan Merah alias Manchester United. Hanya beberapa saat berselang setelah deklarasi pengunduran diri Sir Alex, saya dan teman-temanpun berdiskusi – sambil setengah bertaruh – tentang suksesor Opa keturunan Skotlandia yang sudah berumur 71 tahun. Beberapa nama sempat muncul ke permukaan, dari sosok seperti Jose Mourinho, Manuel Pellegrini, Juergen Klopp, Ole Gunnar Soelskjaer hingga David Moyes. Namun, di dalam diskusi kami, nama-nama tersebut mengerucut kepada dua sosok yakni : sang special-one Mr. Mou dan si scottish Moyes. Teman saya yakin bahwa Mr. Mou dengan kecerdasan strateginya yang di atas rata-rata dan kharisma kepelatihan yang luar-biasa akan mendarat di Old Trafford menggantikan Sir Alex. Sebaliknya, analisa dan intuisi saya mengatakan bahwa pembesut tim papan-tengah Everton, David Moyes lah yang akan menduduki kursi panas kepelatihan memimpin Ryan Giggs dkk.

Terbukti, beberapa hari kemudian, manajemen Manchester United akhirnya menetapkan Moyes sebagai pengganti Sir Alex. Sebagian orang mungkin bertanya masygul, bagaimana mungkin seorang Moyes yang selama karir kepelatihannya (khususnya di Everton) tak pernah sekalipun mengangkat trofi kejuaraan, terpilih menjadi suksesor ? Bandingkan dengan Sir Alex, yang selama melatih MU sejak 1986, telah mengoleksi 38 trofi kejuaraan besar! Namun, seorang legenda yang juga anggota direksi MU, Sir Bobby Charlton, menyebutkan bahwa pertimbangan pengembangan tim secara “jangka-panjang”lah yang membuat Moyes terpilih sebagai pelatih. Seorang Mourinho boleh jadi jauh lebih hebat dan kharismatis dibandingkan dengan Moyes, namun “pertimbangan jangka-panjang”lah yang membuat pria Portugal tersebut tak dipilih untuk membesut MU.

Membangun organisasi (termasuk membangun sebuah tim) pada dasarnya adalah membangun institusi. Guru saya selalu mengatakan, jika diibaratkan dengan olah-raga lari, maka perkara “organization building” (pengembangan organisasi)  ibarat olah-raga lari maraton (yang berjarak tempuh jauh;  42, 195 km), bukannya lari sprint (yang berjarak pendek ratusan meter). Dengan demikian, dalam hal ini “kecepatan” saja sangatlah tidak cukup. Lebih dari kecepatan, yang dibutuhkan adalah “kekuatan dan daya tahan” secara jangka-panjang. Demikian pula, membangun kehebatan organisasi pada esensinya adalah membangun kejayaan institusi (lembaga), bukan membangun kedigdayaan individu (perorangan). Dari sisi inilah, kita bisa melihat mengapa akhirnya David Moyes yang dipilih menjadi pelatih baru MU, bukannya Mourinho.  Pengalaman kepelatihan Mourinho di beberapa tempat, dari Porto, Chelsea, Inter Milan dan Real Madrid, acapkali menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang “sprinter” yang terampil meloncat dengan positioning diri sebagai “superstar individual”. Perasaan superioritas individual inilah yang membuatnya nyaman-nyaman saja mengklaim dirinya sebagai “the special one”.

Sehebat-hebatnya seorang Sir Alex, dengan setumpuk kekuasaan yang dimilikinya dan sederet prestasi yang diraihnya, ia tak pernah mendeklarasikan diri sebagai “the great man of Manchester United”. Walaupun ia adalah sosok yang paling berjasa menjadikan Manchester United sebagai klub besar yang mendunia, Sir Alex toh tetap menyadari dirinya sebagai bagian dari organisasi tersebut, bukan “pemilik atau penguasa” yang berada “di atas” organisasi. Bahkan di dalam pidato perpisahannya di depan puluhan ribu pendukung Setan Merah di stadion Old Trafford, Sir Alex justru memberikan pesan utama agar para fans klub tersebut memberikan dukungan yang sepenuh-penuhnya kepada David Moyes , sang suksesor. Betapa yang bersangkutan sungguh-sungguh mengutamakan kelanggengan organisasi, di atas kehebatan dirinya sendiri.

Fenomena Sir Alex mengingatkan saya pada teori Level-5 Leadership yang digagas oleh Jim Collins  dalam bukunya Good to Great (2001).  Bagi Collins, pemimpin level-5 adalah derajat praksis kepemimpinan organisasi yang paling tinggi, yang berhasil memadukan dua hal yang sekilas terlihat paradoksal, yakni : ambisi dan kerendahan hati. Kita mungkin bertanya, apakah mungkin orang yang ambisius, bisa sekaligus bersikap rendah hati? Sebaliknya pula, apakah mungkin orang yang rendah hati, sekaligus memiliki ambisi tinggi? Namun, studi Collins menunjukkan bahwa kedua hal tersebut dapat dipadukan dalam diri seorang pemimpin, persisnya pemimpin kelas wahid alias level-5. Bagi pemimpin kelas ini, ambisi yang disimpannya tertuju kepada kejayaan organisasi, bukannya demi kemuliaan diri sendiri. Sementara itu, kerendahan hatinya terpantul dari sikapnya yang tetap menjadikan dirinya sebagai “bagian dari organisasi”, bukannya the special-one yang lebih hebat dan mengatasi reputasi organisasi.


Sir Alex, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dapat digolongkan sebagai pemimpin level-5 di dunia organisasi olah-raga. Mewakili fans Manchester United (di Indonesia), perkenankan saya untuk mengucapkan “Thank you Sir Alex. Your organization’s mission has been accomplished!
Siapakah Sang Pemimpin?

Pemilu memang masih baru akan berlangsung satu tahun lagi. Namun jauh-jauh hari, dan terutama saat-saat sekarang ini, para kandidat yang merasa dirinya pantas menjadi pemimpin Indonesia di masa depan sudah giat mengkampanyekan dirinya. Partai-partai politik  hingga kelompok masa juga mulai mengelus jagoannya masing-masing, entah secara malu-malu ataupun terbuka. Bahkan sudah ada partai yang secara resmi mendeklarasikan nama calon presiden dan wakil presiden, lengkap dengan tayangan langsung di stasiun televisi tertentu.

Suka tidak suka, lebih banyak orang yang melihat posisi kepemimpinan sebagai sebuah peluang, daripada amanah. Sebagai suatu peluang, kepemimpinan harus diperjuangkan dan diperebutkan, bahkan terkadang dengan mengorbankan nilai moral dan aturan hukum yang berlaku. Bermacam siasat ditempuh, agar calon yang diusungnya dapat tampil sebagai pemenang. Demikian pula, slogan dan janji-janji kampanye juga bertebaran sana sini laksana balon busa yang terbang kesana kemari. Dan sudah menjadi rahasia umum, lalu-lintas setoran uang menjadi bumbu yang tak terpisahkan dari menu praktek politik, yang sehari-hari dikenal dengan sebutan money-politics. Atas nama keinginan menjadi seorang pemimpin, orang rela melakukan hal apapun, dengan cara apapun, bahkan harus mengorbankan seseorang sekalipun.

Namun, sebenarnya siapakah sang pemimpin itu? Ini pertanyaan yang sangat sederhana, sekaligus juga paling mendasar dalam ilmu manajemen dan kepemimpinan. Setiap kajian dan buku tentunya memiliki definisi dan kriteria yang berbeda-beda. Dengan demikian jawaban terhadap pertanyaan tersebut, sangat tergantung kepada buku yang kita baca. Tulisan ini juga tak bermaksud untuk membedah, apalagi mengkonfrontasikan berbagai definisi kepemimpinan yang dirumuskan oleh para pakar. Tulisan ini hanya bermaksud mengajak kita untuk merenungkan secara mendalam esensi kepemimpinan, hal yang jauh lebih penting dari urusan motif, praktek dan gaya kepemimpinan.

Sejatinya, sejarah mencatat begitu banyak cerita gelap tentang para pemimpin yang dianggap sukses pada awalnya, namun berujung tragis pada akhir masa kepemimpinannya. Tanpa perlu menoleh ke belahan bumi lain pun, kita tahu ada dua presiden kita yang menutup masa kepemimpinannya dan mengakhiri hari tuanya dengan suasana yang tak nyaman. Bung Karno harus menyerahkan kekuasaannya pada tahun 1967, setelah MPRS menolak pidato pertanggung-jawabannya sebagai presiden, dan mengakhiri hidupnya dengan status sebagai tahanan politik. Pak Harto pun akhirnya musti mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin negara ini pada tahun 1998, setelah menghadapi demonstrasi mahasiswa yang begitu masif dan ditinggalkan oleh sebagian menteri-menteri kabinetnya, dan menjalani masa tuanya dalam keadaan sakit stroke di tengah sorotan publik akan praktek KKN dan pelanggaran HAM di era Orde Baru. Mereka-mereka adalah pemimpin yang begitu kharismatik dan memanen pujian pada awal masa berkuasa, namun harus mengisi akhir hidupnya secara tragis dan memilukan.

Orang bijak dari timur yang hidup sebelum zaman Masehi, Lao Tzu, sejak dahulu kala sudah memberikan petuah kepemimpinan nan arif. Katanya, “seorang pemimpin bisa dibilang paling baik bila pengikutnya hampir tidak menyadari kehadirannya. Pemimpin bisa kita anggap cukup baik kalau para pengikutnya patuh dan memujanya. Adapun pemimpin bisa kita anggap jelek, jika para pengikutnya justru membenci dan bahkan mengecamnya”.  Pesan ini mengandung makna bahwa pada akhirnya peran kepemimpinan tak lebih dari sekadar “kurir”, yang mengantar orang-orang yang dipimpinnya untuk menemukan jalan terbaik dan menunjukkan kinerja terbaik bagi dirinya sendiri.  Kemuliaan seorang pemimpin justru terpantul dalam bentuk kehebatan dari orang-orang ataupun kelompok yang dipimpinnya, bukannya kegemilangan dirinya sendiri. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus rela “menenggelamkan” kehebatannya di balik kehebatan orang-orang ataupun kelompok yang dipimpinnya.

Demikianlah hakekat kehebatan yang sejati, yakni saat eksistensi pribadi sang pemimpin seolah-olah lenyap di tengah-tengah pencapaian dan prestasi dari kawanan yang dipimpinnya. Seorang pemimpin sejati selalu menempatkan kepentingan dan kehebatan orang-orang yang dipimpinnya di atas kepentingan dan kehebatan dirinya sendiri. Seperti kata Maya Angelou -  seorang pejuang multi-talenta dan salah satu “guru bangsa” Amerika saat ini -, “a leader sees greatness in other people. You can’t be much of a leader if all you see is yourself”.

Pemimpin sejati berjuang untuk kemaslahatan bersama dan kemuliaan manusia di sekitarnya. Tanpa semangat untuk memperkaya diri dan membangun reputasi pribadi, mereka justru tak ragu untuk memberikan sebanyak-banyaknya dari dirinya sendiri kepada orang-orang yang dipimpinnya. Seperti seorang ibu, mereka rela memberi tanpa berharap mendapatkan balas jasa kembali.
Namun, sudah menjadi hukum alam pula, bahwa “when you give the best out of yourself, you will get the best out of others”.