Minggu, 22 Desember 2013

Ular Tangga

Pertama kali menggeluti bidang pengembangan Sumber Daya Manusia, saya diberi petuah oleh seorang senior yang saya ingat dan hayati hingga saat ini. Kata sang senior, “mengembangkan seseorang itu ibarat bermain ular tangga”. Permainan anak-anak yang satu ini tak hanya mengajarkan kita bagaimana caranya mendaki tangga ke pencapaian yang lebih tinggi, namun sekaligus juga mengingatkan kita untuk siap menerima kenyataan di gigit ular dan melorot ke bawah lagi. Sama halnya juga, mengembangkan orang tak melulu berarti mendorong seseorang untuk meraih kesuksesan dan pencapaian yang lebih tinggi, namun juga menyiapkan yang bersangkutan untuk menerima dan menghadapi kegagalan. Buat saya, ini sebuah pesan yang sangat menarik. Karena, secara alamiah manusia lebih siap (bahkan sangat siap) untuk menyambut kesuksesan, namun sebaliknya gampang terkapar berhadapan dengan kegagalan. Orang berharap untuk menemukan “papan permainan kehidupan” yang hanya diisi oleh tangga-tangga pendakian, dan kalau bisa tak ada gigitan ular yang menyeret ke bawah. Orang ingin menikmati kesuksesan secara instan, cepat dan tanpa proses yang berliku. Masyarakat modern yang cenderung pragmatis, serba-menggampangkan dan melulu result-oriented, seringkali menghilangkan kesempatan seseorang untuk menjalani proses sebagaimana mestinya. Orang tak sabar untuk berproses, dan akibatnya tak terlatih untuk menerima dan menghadapi kenyataan kegagalan yang pahit. Anda mungkin masygul dengan asumsi ini? Mari, sesekali perhatikanlah anak-anak kecil yang sedang bermain video-game yang bersifat kompetitif, di mana anak harus memainkan tokoh (kelompok) yang bersaing atau bertarung dengan tokoh (kelompok) lainnya. Pengamatan saya menunjukkan, jika si anak dalam posisi “menang”, dengan riang gembira dia akan meneruskan permainannya hingga akhir. Namun, apa yang terjadi jika dia berada dalam posisi “kalah”? Alih-alih berjuang untuk mencari siasat dan cara mengatasi kekalahannya, yang dilakukan adalah “me-reset” game yang sedang dimainkannya tersebut ke tombol start lagi. Bagi sang anak, ini cara yang paling cepat dan instan untuk menghindar dari kekalahan alias kegagalan. Anak tidak melatih dirinya untuk menerima, apalagi berhadapan dengan kegagalan. Padahal, kita semua tahu tak ada hidup yang tak dihiasi kegagalan. Yang terjadi, kesuksesan justru acapkali dibangun di atas kegagalan, kesusahan, bahkan kadangkala penderitaan. Yang paling penting, seperti judul lagu band remaja d’Massive : “jangan menyerah!”. Mantan CEO General Electric yang paling legendaris, Jack Welch, pernah berujar “You’ve made a bad deal. The plant’s blown up. Marriages don’t work out. A variety of things don’t work. Keep going’ anyway!”. Guru saya sering berujar, kalau jatuh 10 kali, kita harus bangun 11 kali. Dengan bangkit kembali, kita tak memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk terpuruk semakin dalam. Tak perlu heran, sosok sekelas genius Steve Jobs pun bahkan pernah mengalami nasib yang jauh lebih tragis. Ia sempat ditendang keluar dari perusahaan Apple yang ia dirikan sendiri di garasi rumahnya. Bisa dibayangkan, betapa nelangsanya situasi seperti itu! Namun, apa yang terjadi? Ia memang sempat membesarkan bisnisnya yang lain, namun passion-nya terhadap Apple tak pernah padam. Ketika ia come-back memimpin Apple lagi, ia bahkan membawa semangat dan passion yang jauh lebih besar. “Orang-orang dengan passion besar bisa mengubah dunia menjadi jauh lebih baik”, demikian petuah Jobs. Kelak kitapun mengetahui bahwa ia tetap bersemangat memimpin Apple walau kondisi tubuhnya digerogoti penyakit kanker pankreas. Jobs baru benar-benar turun panggung saat tubuhnya tak sanggup lagi menopang derita penyakitnya, sebelum akhirnya meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 2011. Jobs membuktikan, sekalipun pernah kecewa didepak keluar dari perusahaan yang dirintisnya sendiri, toh ia mampu tampil kembali membawa Apple menjadi perusahaan teknologi komunikasi yang terkemuka di dunia. Bahkan, di tangan Jobs lah, nilai kapitalisasi pasar Apple menembus angka spektakuler US $ 350 milyar. Permainan ular-tangga mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan manusia tak melulu diisi dengan tangga kesuksesan, namun juga sarat dengan ular kegagalan. Hidup yang dihiasi dengan kesuksesan belaka, sangat mungkin mengantar orang pada sikap jumawa. Sebaliknya hidup yang dipenuhi dengan kegagalan, akan membuat orang menjadi putus asa. Justru kombinasi antara kesuksesan dan kegagalan lah yang membuat orang menjadi semakin bijaksana. “Kita hanya bisa menghargai hangatnya sinar matahari, jika pernah basah kuyup kehujanan”, demikian pesan yang disampaikan oleh guru saya. Inventor akbar sekelas Thomas Alva Edison, ternyata juga harus beribu kali menerima kenyataan eksperimen yang gagal, sebelum ia pada akhirnya berhasil menemukan lampu pijarnya yang fenomenal. Terhadap pengalaman kegagalannya ini, ia hanya berujar : I have not failed. I've just found 10,000 ways that won't work”. Jadi, ada benarnya jika kita mendengar ungkapan klise, “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”. Kegagalan bukan untuk diingkari dan dijauhi, namun justru untuk dipelajari dan dimaknai sebagai bagian dari perjalanan menuju kesuksesan baru.

Plan, Do, Check dan Action ...

Artikel ini akan berbicara tentang wacana yang sangat mendasar, sederhana, dan sudah menjadi perkara keseharian kita, yakni : manajemen. Bisa dipastikan, hampir setiap hari orang mengucapkan dan mendiskusikan kata ini, berikut anak kata terkait lainnya. Hari ini kita mendengar keinginan seorang karyawan muda yang bercita-cita menjadi manajer di perusahaannya. Esok hari, kita mendengar tentang celoteh seorang pemimpin organisasi yang berbicara banyak tentang tugas-tugas manajerialnya. Lain hari, kita mendengar seseorang bercerita banyak tentang pelatihan manajemen. Manajemen, manajer, dan manajerial merujuk kepada satu akar kata yang sama, yakni “to manage” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “mengelola”. Boleh saja setiap orang mengucapkan kata “manajemen” dengan lafal yang sama, namun belum tentu semuanya memiliki pengertian operasional yang sama terhadap kata tersebut. Namun, saya akan menggunakan tafsir operasional kata “manajemen” yang paling banyak digunakan orang selama ini, yang dipopulerkan oleh tokoh manajemen Edwards Deming (1900-1993). Menurut konsepsi ini, proses manajemen pada dasarnya terdiri dari empat tahapan kegiatan, yakni tahapan : (1) perencanaan/plan, (2) pelaksanaan /do, (3) pemeriksaan/check, dan (4) tindakan perbaikan/action. Layaknya sebuah roda, keempat tahapan kegiatan ini senantiasa berputar bergerak maju, dan tak akan pernah berkesudahan. Oleh karenanya, wacana “manajemen” tak pernah dilihat sebagai sebuah “hasil atau tujuan”, melainkan sebagai suatu “proses”. Demikian pula, proses manajemen pun tak dianggap sebagai sebuah gerak linier (lurus), melainkan sebuah siklus alias gerak berputar laksana roda.
Kegiatan plan adalah aktivitas untuk menetapkan sasaran atau target yang akan kita tuju. Dengan memiliki sasaran atau target pekerjaan, langkah kegiatan kita menjadi lebih terarah dan terukur. Bisakah dibayangkan, jika karyawan-karyawan di dalam organisasi tidak mengerti sasaran yang ingin dituju dan target yang hendak diburu oleh organisasi? Pastilah semua akan bekerja seperti orang buta yang bertabrakan di sana-sini, tanpa ada yang bisa menuntun. Sementara do adalah aktivitas untuk mengeksekusi sasaran atau target yang telah ditetapkan pada waktu plan. Seperti kata pepatah bijak, “dream is good, but reality is better”; sebaik-baiknya sebuah rencana (mimpi), tetaplah lebih baik sebuah kenyataan (yang tereksekusi). Hanya berkutat pada plan tanpa melakukan do, akan melahirkan sindroma tiga “NA”, yakni : NATO (no action talk only), NACO (no action concept only) ataupun NADO (no action dream only). Seberapapun hebatnya perencanaan (plan)yang dibuat, dan seberapa tajamnya pun eksekusi (do) yang dilakukan, tak serta merta akan mendatangkan hasil yang sempurna seketika juga. Kita perlu melakukan pemeriksaan/check untuk mengidentifikasi kemungkinan “kesenjangan” (gap) antara apa yang diharapkan (ideal) dan apa yang dihasilkan (aktual). Apabila banyak orang mengartikan problem sebagai suatu kendala, kesulitan ataupun stress, Toyota mendefinisikan problem semata-mata sebagai “kesenjangan antara kondisi ideal dan kondisi aktual”, antara “das Sollen dan das Sein”. Dalam konteks ini, problem tak lagi dilihat sekadar sebagai sesuatu yang mendatangkan ketidaknyamanan dan kerumitan, melainkan juga sebuah kesempatan dan peluang. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh seorang industrialis Amerika ternama, Henry J Kaiser (1882-1967) : “problems are only opportunities in work clothes”. Terakhir, setelah menemukan problem di atas, maka kegiatan manajemen selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengambil tindakan/action. Tindakan yang dimaksud disini adalah tindakan perbaikan untuk menutup kesenjangan antara kondisi ideal dan aktual, ataupun juga tindakan pembaruan menuju kondisi yang lebih baik dan lebih baik lagi. Di dalam praktek manajemen Jepang, tindakan perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement action) disebut juga sebagai kaizen. Para pemerhati bisnis setuju bahwa “kaizen” inilah yang menjadi salah satu sumber (DNA) dari kemajuan organisasi-organisasi bisnis Jepang. Plan, Do, Check dan Action jelas bukan sebuah wacana baru di dalam praksis manajemen. Disadari atau tidak, dilakukan secara sistematis atau tidak, semua organisasi pasti melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Namun, walaupun menerapkan praksis yang sama, pada kenyataannya setiap organisasi menuai hasil yang berbeda-beda. Siklus PDCA di satu organisasi bisa mendatangkan capaian kerja yang luar biasa, sementara siklus PDCA di organisasi lainnya tak lebih dari sekadar rutinitas kalender kerja belaka. Jika demikian halnya, dimana letak persoalannya? Seorang olah-ragawan bisa saja dibekali dengan ilmu dan teknik olah-raga yang lengkap dan canggih, namun kalau yang bersangkutan tak memiliki mental pemenang, toh ia tak akan bisa tampil sebagai juara pula. Dengan demikian, “mentalitas” di balik kecakapan teknis menjadi faktor yang menentukan keberhasilan seseorang menjadi pemenang. Sama halnya pula, agar kegiatan manajemen mendatangkan hasil yang efektif, maka seseorang tak hanya cukup mengerti dan melakukan proses manajemen (yakni siklus P-D-C-A) namun juga melengkapinya dengan mentalitas manajemen yang baik. Seiring dengan empat kegiatan manajemen di atas, ada empat mentalitas manajemen yang kita butuhkan juga. Pertama, mentalitas “komitmen” (commitment) pada waktu melakukan kegiatan plan. Kegiatan plan yang dilakukan tanpa komitmen, tak lebih dari sekadar tumpukan kertas-kerja yang tak berarti. Banyak data dan analisa di dalamnya, namun tak ada keterikatan hati untuk menindak-lanjutinya. Mantan presiden Amerika, Dwight Eisenhower pernah berkata, “plans are worthless, but planning is everything”. Planning yang baik akan memasukkan unsur komitmen di dalamnya. Kedua, mentalitas “ketuntasan” (accomplishment) pada waktu do. Tanpa semangat ketuntasan, ibarat seseorang yang memulai lomba lari di garis start, namun tak pernah sadar bahwa ia harus meraih garis finish. Ketiga adalah mentalitas “pertanggung-jawaban” (accountability) yang musti hadir pada waktu melakukan check, yang memungkinkan orang untuk mengevaluasi secara jujur apa yang telah dilakukan, sehingga bisa menemukan “problem atau peluang perbaikan” di balik pencapaian yang diperolehnya. Dan, yang terakhir adalah mentalitas “keunggulan” (excellence) yang sangat dibutuhkan pada waktu kita melakukan action. Bangsa Jepang fasih melakukan action of improvement (kaizen), karena mereka memiliki cita-cita menjadi bangsa yang unggul. Tanpa semangat keunggulan, kita akan larut dalam budaya medioker alias serba-tanggung. So, jika kita merasa menjadi manajer, ada baiknya kita bertanya apakah kita sudah melakukan kegiatan Plan, Do, Check dan Action secara sistematis dan berkesinambungan? Demikian juga, jika kita bercita-cita menjadi manajer yang hebat, kita pun bisa bertanya apakah kita sudah memiliki mentalitas : komitmen, ketuntasan, pertanggung-jawaban serta keunggulan?

Senin, 28 Oktober 2013

Eksekusi Yang Tajam

Senyampang masih dalam suasana ajang Piala Eropa, perkenankan saya berbicara sedikit tentang perkara sepak-bola. Ada tim-tim sepakbola, seperti tim Belanda asuhan Van Marwijk, yang sepanjang pertandingan menunjukkan ball-possesion yang tinggi, namun ternyata berujung kepada kekalahan. Mereka aktif berlari kesana kemari sambil menggiring bola, sambil melancarkan tendangan ke gawang (shots on goal), akan tetapi tak ada yang berhasil menjaringkan bola ke dalamnya.
Namun, pertandingan sepakbola bukanlah perlombaan lari. Permainan sepakbola menjadi berarti tatkala seorang pemain berhasil mencetak gol ke gawang dan mendatangkan kemenangan kepada timnya. Di dalam dunia kerja, kita mengenal istilah “sibuk” dan “efektif”. Kesibukan berhubungan dengan volume aktivitas yang kita lakukan, sementara efektivitas terkait dengan value (nilai) yang kita hasilkan dari aktivitas tersebut. Bisa saja kita begitu sibuk alias memiliki volume aktivitas yang tinggi, namun tidak otomatis kita menjadi lebih efektif dalam mendatangkan manfaat atau nilai tambah bagi perusahaan. Oleh karenanya, guru saya mengatakan bahwa kita tak hanya cukup menuntut seseorang untuk bekerja ekstra keras atau istilah kerennya “willingness to do more”, namun pada saat yang bersamaan yang bersangkutan juga harus memiliki sikap “willingness to deliver more”. Dalam konteks sepakbola di atas, “do more” hanya terkait dengan “ball-possesion dan shots on goal”. Sebaliknya, “deliver more” adalah sesuatu yang terkait dengan “goal” itu sendiri serta kemenangan bagi tim secara keseluruhan. Jembatan untuk menjadikan “do more” menjadi “deliver more” adalah dengan melakukan eksekusi yang tajam. Eksekusi yang dilakukan dengan ala kadarnya, tak akan mendatangkan hasil yang maksimal. Sementara, eksekusi yang tajam akan membuat langkah kegiatan kita menjadi lebih efektif, dan mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. Seperti yang diakui oleh para pelaku bisnis, seringkali kegagalan operasi bisnis terjadi bukan karena ketiadaan strategi yang hebat dan canggih, namun karena kelalaian dan kelemahan dalam hal eksekusi. Dalam buku anyarnya, The 4 Disciplines of Execution : Acieving Your Wildly Important Goals, Chris McChesney, Sean Covey dan Jim Huling, mensyaratkan empat disiplin yang harus dimiliki sebuah organisasi agar eksekusi rencana kerja dapat berlangsung tajam. Pertama, adalah sikap fokus. Hasil studi menunjukkan, sikap rakus untuk meraih banyak sasaran (goals) pada saat yang bersamaan, justru membuat tak ada sasaran yang tereksekusi secara sempurna. Semakin banyak sasaran yang ingin kita capai, justru semakin menghilangkan energi dan fokus kita untuk mengeksekusi secara tajam. Ujung-ujungnya, jika sasaran tersebut dieksekusi, hasilnya pun menjadi sekadarnya saja. Padahal, seperti diungkapkan oleh pakar manajemen Jim Collins, dalam bisnis “good is the enemy of great”. Organisasi harus fokus kepada sasaran yang tidak hanya “penting” (important), namun “sungguh-sungguh penting” (wildly important). Keberhasilan mencapai sasaran ini, akan membuat segala sesuatu menjadi berbeda. Sebaliknya, kegagalan meraih sasaran ini, akan membuat pencapaian-pencapaian lainnya menjadi kehilangan makna. Kedua adalah sikap prioritas. Prinsip pareto (yang dikenal juga prinsip 80/20), mengajarkan kepada kita bahwa 80% hasil yang kita raih dikontribusikan oleh 20% aktivitas yang kita lakukan. Dengan demikian, mengapa kita tidak memprioritaskan diri untuk memikirkan dan melaksanakan secara mantap 20% kegiatan tersebut. Langkah-langkah aktivitas utama (disebut pula lead-measure) tersebutlah yang harus dipikirkan secara seksama dan diberikan perhatian utama. Alokasi sumber daya, termasuk pikiran dan tenaga, perlu dikonsentrasikan kepada aktivitas-aktivitas utama tersebut. Prinsip prioritas mendidik kita untuk tak hanya bekerja dengan keras, namun bekerja secara cerdas pula. Ketiga adalah sikap kompetitif. Perusahaan perlu menyediakan “scoreboard” yang bisa memotivasi orang untuk bersikap kompetitif. Sebagai contoh, mari kita petik pembelajaran dari bidang olah-raga, yang dikenal sebagai salah satu bidang kehidupan yang paling kompetitif. Beberapa bidang olah-raga kompetisi, seperti basket dan bulutangkis, adalah jenis olah-raga yang paling seru dan mendorong para pemainnya untuk bertarung habis-habisan mengerahkan kemampuan terbaiknya. Tanpa kita sadari, papan skor yang selalu bergerak dari waktu ke waktu, dan bisa disaksikan setiap saat oleh semua orang, adalah alat kecil yang memompa adrenalin para pemain untuk bersaing habis-habisan. Eksekusi yang tajam juga membutuhkan semangat persaingan seperti itu, agar adrenalin para eksekutor di lapangan terpompa sepenuh-penuhnya. Dan, yang terakhir adalah sikap pertanggung-jawaban. Seberapa hebatnya pun sasaran yang kita rumuskan, prioritas yang kita tetapkan dan suasana kompetisi yang kita ciptakan, pada akhirnya yang menjadi pelaksana eksekusi adalah manusia juga. Seberapa hebatnya sistem yang diciptakan dan fasilitas yang disediakan, tak akan menjadi berarti apa-apa tanpa didukung manusia yang memiliki komitmen. Ibarat mobil mewah nan canggih, namun tanpa bahan bakar di tangkinya. Organisasi perlu membangun sistem yang memungkinkan orang untuk bersikap akuntabel terhadap apa yang dilakukannya. Ada insentif (reward) yang diberikan jika mereka melakukan tugas-tanggung jawabnya dengan baik, sebaliknya juga ada dis-insentif (punishment) yang dikenakan jika mereka lalai menjalankan tanggung-jawabnya dengan baik. So, mari kita ukur apakah kita sudah memiliki keempat sikap dan disiplin di atas, agar eksekusi rencana organisasi kita dapat berjalan baik dan tajam?

Senin, 21 Oktober 2013

Antara "Pembatasan" dan "Inovasi"

Hingga saat ini, kita tak pernah mengerti persis bagaimana kebijakan energi jangka panjang yang akan ditempuh oleh pemerintah, yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan ratusan juta rakyat Indonesia di masa yang akan datang. Perubahan rencana kebijakan dari waktu ke waktu, mulai dari kenaikan harga BBM bersubsidi, pengembangan BBM hibrida premix dengan mencampurkan premium dan pertamax, hingga pembatasan pemakaian BBM bersubsidi, ternyata hanya berujung kepada pembatasan pemakaian BBM bersubsidi oleh kendaraan pelat merah. Saat ini, mulai banyak yang meragukan pula keberlangsungan kebijakan tersebut, dan dampak positif yang ditimbulkannya. Seorang teman berseloroh, bagaimana pemerintah bisa menghemat anggaran belanja (yang merupakan salah satu tujuan utama kebijakan BBM jangka pendek), jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni mobil-mobil pemerintah justru diharuskan untuk membeli bahan bakar non subsidi yang harganya jauh lebih mahal? Selain ide pembatasan penggunaan BBM, sebuah ide alternatif dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa pada saat memberikan sambutannya dalam acara peringatan ulang ke-55 PT Astra International Tbk, awal bulan Mei yang lalu. Hatta menantang perusahaan raksasa otomotif Indonesia tersebut untuk ikut mencari solusi dan melakukan inovasi dalam menyelesaikan masalah BBM, yakni salah-satunya dengan cara membuat mobil irit bahan bakar minyak. Wacana tentang “pembatasan” dan “inovasi” selalu menjadi perdebatan klasik para ahli dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam yang jumlahnya terbatas dan tak dapat diperbaharui (non-renewable). Adalah Thomas Malthus (1766-1834), seorang pendeta Anglikan yang juga ahli ekonomi politik, yang mempelopori gerakan “pembatasan”. Malthus berpandangan, jika tidak dikendalikan atau dibatasi, maka populasi manusia akan bertambah menurut deret ukur (geometrik), sementara jumlah pangan tersedia hanya akan meningkat menurut deret hitung (aritmatik). Oleh karenanya, tak ada pilihan lain bagi manusia untuk bisa hidup bertahan dalam jangka panjang, kecuali membatasi jumlah populasi demi menjaga ketersediaan pangan. Beberapa studi dan kebijakan yang ditempuh oleh tokoh-tokoh ternama seperti Charles Darwin, John Maynard Keynes dan juga Mao Zedong sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mathus ini. Sementara itu, bertolak belakang dengan Malthus, muncul ide “inovasi” yang diluncurkan oleh Robert Solow (1924- sekarang), seorang guru-besar emeritus dari MIT dan peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi. Bagi Solow, tak perlu khawatir dengan persoalan kelangkaan pangan dan sumber daya alam lainnya. Kelangkaan seperti ini tak harus dilihat sebagai sebuah “bencana”, namun sekadar sebuah “peristiwa alamiah” yang pasti akan terjadi seiring dengan perjalanan peradaban manusia. Dan, Solow percaya, lewat kecerdasan dan kemampuannya, manusia akan mampu mengatasi persoalan tersebut lewat berbagai langkah inovasinya. Bagi para pengikut Solow, manusia bisa menggenjot pertumbuhan (growth) tanpa batas, karena inovasi (khususnya di bidang teknologi) memang tak berbatas. Dalam artikelnya bertajuk “Saving The Planet : A Tale of Two Strategies” (HBR, April 2012), Roger Martin dan Alison Kemper mengatakan bahwa kedua pendekatan di atas tak perlu diadu secara konfrontatif. Justru, jika kita ingin meraih progress yang nyata, kedua pendekatan tersebut dapat digabungkan dan diupayakan secara bersama-sama. Secara jangka pendek, memang kebijakan yang berorientasi “pembatasan” akan menciptakan dampak nyata, namun yang jelas tak akan menolong secara jangka panjang. Sebaliknya, kebijakan yang berorientasi”inovasi” akan menghasilkan solusi yang lebih sustainable, namun demikian kita membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk melakukan riset dan menghasilkan temuan inovatif. Bagi Martin dan Kemper, pemerintah bisa menerapkan kebijakan berorientasi “pembatasan” berbarengan dengan kebijakan berorientasi “inovasi”. Pemerintah bisa mendidik masyarakat agar dapat mengkonsumsi energi secara bertanggung-jawab, tanpa harus merasa khawatir akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sekaligus juga, pemerintah bisa menciptakan kebijakan harga, yang bisa merangsang dan mendorong proyek-proyek inovasi. Mantan wakil menteri ESDM, almarhum Widjajono Partowidagdo, menyesalkan kebijakan pemerintah yang “sempat” menurunkan harga BBM, karena penurunan harga ini tak simetris dengan mimpi pemerintah untuk mendorong masyarakat beralih dari kebiasaan mengkonsumsi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Pada akhirnya, pemerintah, masyarakat dan komunitas bisnis bisa ambil bagian secara bersama untuk menyelamatkan planet bumi ini, khususnya bumi Indonesia. Pemerintah bisa menciptakan regulasi yang bisa mendidik publik untuk mengkonsumsi energi secara bertanggung-jawab. Masyarakat juga bisa ikut ambil bagian dengan mengubah kebiasaan perilaku, baik kebiasaan dalam pemanfaatan energi secara bertanggung-jawab ataupun penyesuaian diri terhadap teknologi baru yang inovatif. Dan, komunitas bisnis bisa berpartisipasi dengan menggarap proyek-proyek inovasi yang dapat menyiasati persoalan energi secara kreatif. Jadi, antara “pembatasan” dan “inovasi”, tak perlu dikonfrontasikan ataupun diprioritas satu sama lainnya. Keduanya bisa dilakukan pada saat yang bersamaan, dengan hasil yang bahkan jauh lebih baik.

Senin, 07 Oktober 2013

Tak Ada Jalan Pintas

Belakangan ini kita dipusingkan kembali oleh issue investasi bodong yang dilakukan oleh koperasi Langit Biru dan Gradasi Anak Negeri. Sebenarnya ini bukan cerita baru, bahkan beberapa tahun lalu ada kasus serupa dengan kehebohan yang lebih besar, yang dilakukan oleh PT. QSAR (Qurnia Subur Alam Raya). Kasus QSAR menimbulkan kehebohan, karena beberapa pejabat tinggi pemerintahan ikut menjadi korban investasi yang beroperasi dengan skema ponzi ini. Per definisi, skema ponzi berarti portfolio investasi yang sarat kecurangan (fraudulent), yang membayar hasil investasi kepada investornya dengan menggunakan uang mereka sendiri atau uang yang disetorkan oleh investor-investor berikutnya; bukannya dengan menggunakan keuntungan yang didapatkan dari operasi bisnis perusahaan tersebut. Skema Ponzi umumnya menawarkan iming-iming yang sangat menggiurkan dibandingkan dengan portfolio investasi lainnya, umumnya dalam bentuk tingkat keuntungan jangka pendek yang super-tinggi. Dengan demikian, untuk mengongkosi tuntutan pembayaran keuntungan yang super-tinggi tersebut, pengelola membutuhkan aliran dana yang kencang dengan cara merekrut sebanyak-banyaknya investor baru. Alhasil, tanggul kas pun tak perlu menunggu waktu lama untuk jebol menjadi persoalan gagal-bayar. Sebenarnya, dengan logika bisnis yang paling kreatif sekalipun, praktek skema ponzi adalah sebuah langkah investasi yang tak masuk akal. Namun, begitulah manusia – termasuk manusia Indonesia tentunya -, banyak yang tak sabar untuk menanam usaha, namun ingin segera menuai hasil. Semua ingin melihat hasil usaha secara instan, seperti kisah mitologi penciptaan candi Prambanan yang secara adrakadabra selesai dalam semalam. Ada yang menyebut mentalitas ini sebagai mentalitas terabas, instan ataupun potong jalan pintas. Padahal, agama manapun jauh-jauh hari sudah mengajarkan umatnya, bahwa untuk setiap kenikmatan yang kita cicipi, perlu ada keringat yang harus kita teteskan. Saya teringat dengan nasehat yang pernah diberikan oleh guru saya. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara profit, profitabilitas dan sustainabilitas. Ini sebuah pola pikir yang menarik, karena umumnya kita jarang memikirkan secara seksama ketiga hal tersebut, yang sekilas terkesan mirip dan tak berbeda. Katanya lagi, “sebuah perusahaan bisa saja mencetak profit di laporan keuangannya, namun sebenarnya tak mempunyai profitabilitas”. Nah loh..., bagamaina pula ceritanya? Di dalam bisnis, secara umum kita mengenal dua jenis pendapatan, yakni : operating income dan other income. Operating income adalah pendapatan yang kita peroleh dari hasil operasi bisnis kita, sementara other income adalah pendapatan yang kita peroleh bukan dari hasil operasi bisnis, namun dari hal di luar bisnis semisal penjualan aset menganggur dsb.nya. Perusahaan dikatakan memiliki profitabilitas (kemampuan mencetak keuntungan), jika memang mampu menciptakan operating income yang lebih besar dari biaya operasi-bisnisnya (operating cost). Dengan demikian, jika ada perusahaan yang bisa mencetak profit, sementara tak memiliki profitabilitas, pastilah sebagian pendapatan perusahaan diperolehnya lewat jalur non-bisnis lain-lain alias other income. Bisnis yang sehat harus memastikan bahwa keuntungan yang diperolehnya memang betul-betul dari operasi bisnisnya (operating income), bukan dari faktor-faktor di luar operasi bisnis (other income). Mengapa? Karena dari namanya saja sudah disebut other income, artinya itu jenis pendapatan yang tak bisa dipastikan eksistensinya setiap saat. Mirip seperti rezeki nomplok, yang bisa saja datang tiba-tiba, dan kemudian menghilang tak berbekas. Lebih jauh, guru saya juga mengingatkan bahwa perusahaan yang memiliki profitabilitas pada saat ini, tak serta merta akan berhasil mempertahankan profitabilitasnya di masa-masa yang akan datang. Sudah banyak contoh yang bisa kita lihat, perusahaan yang semula begitu sehat dan berjaya, beberapa tahun kemudian tersaput hilang oleh derasnya arus kompetisi dan kencangnya dinamika perubahan. Perusahaan harus bisa memastikan dirinya untuk beroperasi secara unggul alias mempunyai operational excellence , agar profitabilitas dapat terjaga secara berkelanjutan (sustainabilitas). Untuk mencapai operational excellence, tak ada pilihan lain kecuali perusahaan musti peduli kepada detil operasi bisnis, yang juga berarti cermat mengolah dan menjalani setiap proses bisnis di dalamnya. Karena, kinerja keseluruhan organisasi sejatinya adalah penjumlah kumulatif dari kinerja setiap proses bisnis yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks penganalisaan laba-rugi perusahaan, semestinya para pelaku bisnis tak hanya berhenti dan terpukau pada urusan P&L (profit-loss atau laba-rugi) perusahaan secara keseluruhan saja (overall bottom-line), namun sebaliknya secara seksama menganalisa P&L pada tingkatan yang paling kecil (the smallest level of P&L). Katakanlah untuk perusahaan maskapai penerbangan, pelaku usaha di bidang tersebut hendaknya bisa menelaah kinerja keuangannya pada tingkatan P&L per armada atau pesawat. Demikian pula, untuk perusahaan jasa pembiayaan, P&Lnya harus bisa ditelusuri secara detil hingga tingkatan P&L per kendaraan yang dibiayai. Dengan melakukan analisa P&L secara detil hingga tingkatan yang paling kecil, perusahaan bisa memastikan apakah kinerja keuangan yang diraihnya sungguh-sungguh berasal dari operasi bisnis yang excellent atau faktor di luar operasi bisnis, semisal nasib baik atau rezeki sesaat belaka. “Sembilan dari sepuluh bisnis tak bisa bertahan langgeng, karena tak memiliki operational excellence. Mereka tak cermat dalam mengeksekusi detil dari setiap proses bisnis dan menganalisa implikasi keuangan yang diakibatkannya. Bagaimanapun, business operation yang baik membutuhkan perhitungan yang cermat dan eksekusi yang tajam; tak bisa mengandalkan luck (keberuntungan) semata”, demikian kata sang guru. Pada akhirnya, sepanjang detil operasi bisnis tertata rapi, diperhitungkan secara cermat, dan dieksekusi secara tekun dan seksama, niscaya hasil dan keuntungannyapun akan hadir secara berkesinambungan. Ringkasnya, tak ada jalan pintas, juga tak ada sikap tergesa-gesa, serta tak ada pula sikap menyerahkan bisnis dan investasi kita kepada nasib-baik semata.

Selasa, 01 Oktober 2013

Benturan Kepentingan

Tulisan saya berjudul “Etika dan Reputasi” pada tabloid Kontan edisi 30 April – 6 Mei 2012 mendapat tanggapan dari seorang rekan. Katanya, “Urusan etika itu seperti belut. Seringkali begitu nyata, namun tak dapat tertangkap tangan”. Intinya, jika etika adalah sebuah “aturan main”, maka aturan main tersebut tidaklah bersifat memaksa dan mengikat. Berbeda dengan hukum positif yang secara tegas mengatur “do” dan “don’ts” dari sebuah tindakan atau perilaku - berikut sangsi bagi pelanggaran terhadapnya -, etika lebih merupakan panduan normatif bagi seseorang untuk bertindak secara pantas, layak dan bermartabat. Pelanggaran etika pun tak serta-merta dapat ditafsirkan dan ditindaklanjuti secara formal layaknya hukum positif, dan sangsinya pun bersifat moral belaka. Ujian implementasi etika (yakni etika bisnis dan etika kerja) menjadi semakin nyata, tatkala pelaku organisasi menghadapi “conflict of interest” atau konflik kepentingan, yakni saat kepentingan organisasi berbenturan dengan kepentingan pribadi. Jika dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu, pasti tak susah buat kita menjawab “harus mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi”. Namun, jika seseorang sungguh dihadapkan dengan kenyataan tersebut, tak jarang akan menimbulkan komplikasi yang memusingkan kepala. Beberapa saat yang lalu, seorang mantan CEO menceritakan kepada saya pengalaman “benturan kepentingan” yang dialaminya secara nyata. Kisahnya dimulai saat perusahaan yang dikomandaninya hendak menerapkan pedoman Good Corporate Governance (GCG), yang di dalamnya juga mencakup praktek etika bisnis dan etika kerja. Mantan CEO tersebut dihadapkan dengan kenyataan bahwa pada saat yang bersamaan ia tak hanya menjadi seorang CEO (profesional pengurus perusahaan) namun juga menjadi Shareholder (pemilik saham perusahaan). “Posisi ganda” seperti ini potensial menimbulkan “benturan kepentingan”, karena bisa menciptakan bias dalam proses pengambilan keputusan. Seseorang akan sulit mengambil keputusan secara objektif, karena potensi mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi cukup besar. Kalaupun yang bersangkutan benar-benar mengambil keputusan secara objektif (dengan mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan dirinya), persepsi negatif dari publik juga tak bisa dicegah. Tidaklah mengherankan, jika prinsip GCG menganjurkan pemisahan tegas antara fungsi “kepemilikan” dan “kepengurusan” dari sebuah organisasi. Situasi rawan “conflict of interest” yang dialami sang mantan CEO tersebut adalah konsekwensi dari masa transisi perusahaan yang dialaminya. Sebelum go public, perusahaan yang dipimpinnya adalah perusahaan yang dimiliki secara pribadi oleh seorang pengusaha. Sang pemilik adalah seorang entrepreneur sejati, yang senang membangun “kemitraan” dengan para profesional di perusahaan miliknya, dalam rangka membesarkan portfolio bisnisnya. Salah-satu bentuk kemitraan yang ditempuh sang pemilik adalah dengan memberikan sebagian saham perusahaan kepada para profesionalnya. Sang mantan CEO, sebagai salah-satu profesional, tentunya juga mendapatkan jatah saham di perusahaan milik sang pengusaha. Setelah tercatat di lantai bursa, perusahaan pun harus menunjukkan perilaku organisasi layaknya sebuah perusahaan terbuka (Tbk), yaitu tunduk kepada prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dengan landasan etika bisnis dan etika kerja yang kuat. Seperti yang telah diutarakan di atas, praktek GCG mendorong adanya pemisahan yang tegas antara fungsi “kepemilikan perusahaan” (pemegang saham) dan “kepengurusan perusahaan” (tim manajemen), yang bertujuan untuk mencegah terjadinya moral-hazards yang tak semestinya. Tentunya “pemisahan fungsi” ini menempatkan sang mantan CEO dalam posisi yang tak nyaman, sebagai orang yang pada saat itu memiliki “fungsi ganda” akibat warisan praktek bisnis sebelum go public. Sang mantan CEO menyadari bahwa kondisi dilematis ini adalah sebuah fakta organisasi yang harus dia hadapi. Baginya, praktek GCG dengan standar etisnya adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh oleh organisasi yang ingin sustainable secara jangka-panjang. Namun, ia juga tak perlu merasa bersalah karena ikut “memiliki saham” perusahaan yang dikelolanya, sebagai pemberian dari sang pemilik di masa lalu. Buat sang mantan CEO, yang penting apa yang dimilikinya dideklarasikan secara “terang benderang” (“transparan”) dan apa yang dilakukannya diputuskan secara objektif (“akuntabel”). Bukankah “transparansi” dan “akuntabilitas” adalah ciri-ciri utama dari institusi yang menegakkan tata kelola yang baik? Untuk urusan “transparansi”, sejak penerapan GCG, sang mantan CEO menjelaskan secara terbuka (kepada jajaran organisasi dan juga publik) tentang status kepemilikan saham yang dimilikinya secara rinci. Ia ingin menjelaskan kepada mereka bahwa tak ada sepeser uang atau selembar saham-pun yang ia peroleh lewat cara tak pantas. Sementara untuk urusan “akuntabilitas” proses pengambilan keputusan, sang mantan CEO bersikap “mengambil jarak” dalam proses pengambilan keputusan terhadap urusan yang terkait dengan dirinya (baik terkait secara langsung ataupun tidak). Secara praktis, ia akan menyerahkan proses pengambilan keputusan untuk urusan seperti itu kepada sebuah tim independen, dan tidak akan campur tangan sama sekali. Apapun keputusan yang diambil oleh tim independen tersebut, ia akan terima dengan lapang hati. Penerapan etika memang tak selalu mudah, apalagi bila berbenturan dengan kepentingan pribadi secara nyata. Saat prinsip etis tak kita hidupi dengan baik, mungkin tak ada hukum formal yang memberikan sangsi dan punishment secara konkret. Demikian juga, kita mungkin bisa menyiasati dan “mengakali” prinsip etis tersebut dengan seribu argumentasi, namun yang jelas kita tak akan pernah bisa membohongi diri sendiri. “Semaksimal mungkin, saya akan selalu bertindak di atas kesadaran nurani (conscience) saya. Karena, itu yang mendatangkan inner peace di dalam hidup saya”, ujar
sang mantan CEO menyikapi persoalan etis di dalam kehidupan bisnis dan profesionalnya.

Selasa, 24 September 2013

Pilih Mana : Sukses atau Bahagia?

Seorang rekan, yang duduk di sebelah saya di dalam mobil yang sama, menantang dengan pertanyaan yang sama sekali tak saya duga. Melewati kolong sebuah jalan layang di Jakarta, sang teman berujar : “Gua tantang elu untuk tidur di bawah kolong seperti orang itu”, katanya sambil menunjuk seorang gelandangan yang tergeletak nyenyak di tengah kebisingan lalu-lintas. Tanpa menunggu jawaban saya, sang teman melanjutkan “Gua pastikan, dikasih kesempatan belajar selama seminggupun, kamu nggak akan bisa tidur pulas di tempat begituan”. Dalam hati saya mengamini apa yang dia katakan. Belum sempat saya angkat bicara, sang teman itupun terus melanjutkan, “Bisa jadi kita memang lebih sukses dibandingkan orang tersebut. Tapi, jangan-jangan dia jauh lebih bahagia dibandingkan kita. Kalau dia tak bahagia, mana mungkin dia bisa terbang ke langit tujuh, tak terganggu sama suara mobil-motor dan tiupan angin disertai debu”, ujar sang teman dengan mimik serius. Dale Carnegie berkata bahwa “succes is having what you want; happiness is wanting what you have”. Bisa saja kesuksesan berjalan seiring dengan kebahagiaan, namun kenyataannya tak selalu demikian. Kesuksesan merujuk kepada pencapaian, sementara kebahagiaan ada di pikiran dan hati kita. Ada orang yang memiliki pencapaian yang luar biasa, namun pikirannya sumuk dan hatinya gelisah. Sebaliknya ada orang yang tak banyak mengukir prestasi tinggi, namun pikirannya tenang dan perasaannya penuh ceria. Contohnya? Ya, gelandangan yang tidur pulas di bawah kolong jalan layang di atas. Lebih jauh, kebahagiaan juga tidak terkait dengan berlimpah ataupun minimnya harta. Guru Cheng Yen, rahib Buddha pendiri komunitas kemanusiaan Tsu Chi, dalam buku Still Thoughts, vol.1 (2009), mengatakan bahwa semua orang mempunyai masalah. Mereka yang kaya dan berkuasa takut kehilangan apa yang mereka punyai, sementara mereka yang miskin dan lemah pusing setengah mati memikirkan cara memperoleh apa yang mereka tak punyai. Dengan demikian, persoalan muncul bukan karena kondisi kekayaan dan kemiskinan seseorang, tapi terutama karena adanya kecemasan yang muncul di benaknya. Persis seperti apa yang ditulis oleh John Milton dalam buku ternama Paradise Lost, “ The mind is its own place, and in itself...can make a heaven out of hell or a hell out of heaven”. Pikiran manusia memiliki dunianya sendiri, dan kondisi di dalamnya bisa membuat neraka terasa surga ataupun sebaliknya. Pengalaman Larry King - pembawa acara talk-show terkenal dari CNN – di bawah ini bisa menjelaskan ternyata kesuksesan dan kebahagiaan tak berhubungan secara langsung. Pada tahun 1972, King jatuh miskin karena mendadak menganggur setelah dilepas oleh stasiun radio tempatnya bekerja. Kondisi ini jelas membuatnya lemas karena tagihan sewa apartemen dan tunjangan anak yang diasuh mantan istrinya sudah di depan mata. Lucunya, sekalipun ia bokek, King masih tak bisa meninggalkan hobi utamanya berjudi di pacuan kuda. Maka, suatu hari dengan sisa uang yang hanya 48 dolar ia datang ke arena pacuan. Di sana ia melihat seekor kuda betina bernama Lady Forli yang dipertaruhkan 70 lawan 1. Ia memasang taruhan 10 dolar. Semakin lama melihat, ia semakin jatuh hati kepada Lady Forli sehingga memutuskan bertaruh exacta, atau di atas dan di bawah semua kuda yang lain. Ia juga bertaruh trifecta atau tiga kuda urutan teratas berdasarkan tanggal lahirnya. Dan hari itu, secara luar biasa semua pilihannya jitu dan King menang 11 ribu dolar. Ia kesulitan membawa uang hadiahnya karena jaketnya tak bersaku. Ia memberi tip kepada petugas valet 50 dolar sehingga si petugas nyaris pingsan. Sewa apartemen dan tunjangan anaknya ia lunasi sekaligus untuk setahun. King selalu mengenang hari itu sebagai hari terbaik dan paling membahagiakan dalam hidupnya. Bagi King, kebahagiaan tertingginya adalah saat mendapatkan uang di tengah kondisi yang sangat membutuhkan. Pada tahun-tahun berikutnya, King yang sudah sangat terkenal bisa dengan mudah mendapatkan 11 ribu dolar bahkan lebih, baik sebagai pembaca acara ataupun di arena pacuan kuda. Namun, tak ada yang bisa mengalahkan pengalaman hari itu sebagai momen yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Saya pernah bertanya kepada beberapa rekan, mana yang akan mereka dahulukan, apakah menjadi sukses atau bahagia? Umumnya, mereka dengan fasih menjawab untuk mengutamakan kebahagiaan di atas kesuksesan. Namun pada saat yang bersamaan mereka juga mengakui bahwa secara tak sadar, perilaku keseharian menuntun mereka untuk mengejar kesuksesan, sembari membiarkan diri dihujani oleh berbagai persoalan, tekanan dan ketidaknyamanan hidup. Jika sudah demikian, bukankah apa yang dipikirkan tak selaras dengan apa yang dijalankan? Menarik apa yang dikatakan oleh Buddha bahwa “success is not the key to happiness, but happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful”. Banyak orang sukses, yang berhasil meraih begitu banyak pencapaian dan mendapatkan tepuk tangan banyak orang, namun justru hatinya merasa tak bahagia. Benarlah petuah para guru kebajikan bahwa kebahagiaan seseorang sangatlah bersifat personal. Ketika pikiran begitu positif dan nuansa hati begitu gembira, itulah saatnya seseorang merasakan kebahagiaan. Dan, itu tak ada hubungannya dengan gegap gempita tepuk tangan orang kepada kita. Apa yang diajarkan Buddha pun juga nyata adanya bahwa kebahagiaan adalah kunci keberhasilan kita. Mengapa? Karena hanya orang yang pikirannya positif dan hatinya gembira, yang dapat bekerja dengan keterlibatan yang sepenuh-penuhnya. Keterlibatan yang penuh ini, itulah yang disebut oleh pemikir manajemen masa kini sebagai “engagement”, yang diyakini sebagai kuncil keberhasilan pekerjaan.

Selasa, 17 September 2013

Anjing atau Srigala?


Seorang rekan yang bekerja di salah satu BUMN mengatakan kepada saya, “Menteri BUMN yang sekarang (yakni Pak Dahlan Iskan) mempunyai gaya yang sama sekali berbeda dengan pendahulu-pendahulunya! Lepas dari apa yang dilakukannya itu benar atau salah, baik atau tidak, yang jelas Pak Dahlan menunjukkan pola kepemimpinan yang fresh, bahkan cenderung unik di mata orang-orang yang terbiasa bekerja di lingkungan birokrasi”. Dalam hati saya berpikir, jangankan “orang dalam”, publik luas-pun bisa menyaksikan secara langsung gebrakan-gebrakan unik yang dilakukan sang menteri. Salah-satu yang paling diingat baik tentunya adalah kemarahan sang Menteri di pintu masuk tol yang dijejali antrian mobil yang panjang, yang membuatnya turun langsung mengatur lalu-lintas dan membebaskan antrian mobil masuk ke jalan tol tanpa membayar. Dahlan berkilah “Orang mau membayar (memberi uang kepada kita) koq harus dipersulit dan mengantri panjang!”. Untuk orang-orang yang bergelut di dunia bisnis dan lingkungan swasta, apa yang dikatakan Dahlan sangatlah mudah dipahami. Bukankah kita sering mendengar jargon “Konsumen adalah raja”, artinya konsumen harus diperlakukan secara baik dengan layanan yang sempurna. Dalam konteks pengelolaan jalan tol, bukankah para pengendara mobil itu adalah konsumen? Dan oleh karenanya, mengapa mereka harus dipersulit dan dibuat tak nyaman dengan antrian yang panjang? Baru baru ini saya membaca wawancara majalah Harvard Business Review (edisi April 2012) dengan Jin Zhiguo, pimpinan dari perusahaan bir Tsingtao kepunyaan pemerintah Cina. Zhiguo yang diangkat menjadi presiden direktur Tsingtao sejak 2001, berhasil membuat perusahaan bir tersebut meraih angka pendapatan dan laba yang semakin mendaki setiap tahunnya. Yang tak kalah pentingnya, ia berhasil melakukan transformasi budaya pada perusahaan yang semula memiliki watak “pelat merah” yang kuat menjadi perusahaan yang berorientasi kepada pasar dan konsumen. Perusahaan yang dulunya diurus semata-mata sebagai sebuah organisasi birokrasi, didorong untuk aktif berkompetisi. Ikhtiar transformasi Zhiguo dimulai pada tahun 1995, saat ia ditunjuk sebagai pimpinan sebuah anak usaha Tsingtao, yakni pabrik bir Hans Brewery di Xi’an. Hari pertama menjejakkan langkah di kantornya yang baru, ia melihat laporan keuangan tergeletak di meja kerjanya, dan di dalamnya tertulis “Produksi per hari : 1.000”. Semula Zhiguo berpikir bahwa angka itu berarti 1.000 krat (keranjang bir), yang artinya tidak terlalu buruk. Namun, setelah berbicara dengan karyawannya, ia baru mengerti ternyata yang dimaksud adalah 1.000 botol. Zhiguo kaget bukan kepalang, bagaimana perusahaan yang jumlah karyawannya lebih dari 1.000 hanya mampu memproduksi 1.000 botol bir per hari! Artinya, secara rata-rata, setiap karyawan memproduksi kurang dari satu botol bir setiap harinya. Namun, mau dipercaya atau tidak, demikianlah kenyataan yang ada. Di lingkungan perusahaan milik negara, kondisi wanprestasi tersebut memang bukan hal yang aneh. Pemerintah lah yang menetapkan rencana produksi, dan tak ada orang yang secara serius memedulikan kebutuhan konsumen dan daya serap pasar. Pengukuran-pengukuran kinerja bisnis semisal manajemen biaya, produktivitas dan efisiensi praktis tak berjalan dengan baik. Juga tak ada mekanisme untuk menyerap aspirasi pasar, sehingga perusahaan tak pernah benar-benar apa yang menjadi kebutuhan konsumen. Tak ada pilihan bagi Zhiguo, kecuali menempuh transformasi radikal, jika operasi bisnisnya tak ingin dilibas oleh perusahaan-perusahaan bir asing (khususnya dari Eropa) yang semakin hari semakin akrab di telinga dan lidah masyarakat Cina. Yang paling menantang, namun sekaligus penting bagi Zhiguo, adalah melakukan transformasi pola pikir dan mentalias segenap karyawannya. Yakni, berubah dari mentalitas untuk “menyenangkan atasan” menjadi “mengutamakan pelanggan”. Zhiguo menyadari, pada banyak perusahaan milik negara, kesuksesan seseorang seringkali ditentukan oleh seberapa mampu yang bersangkutan menyenangkan atasannya, bukan seberapa baik dia mengerti dan melayani pelanggannya. Akibatnya, perusahaan menjadi tak produktif dalam melahirkan kinerja, dan justru terjebak dalam hiruk-pikuk politik kantoran. Era Deng Xiao Ping yang menggeser kebijakan ekonomi, dari “ekonomi terencana” (planned economy) menjadi “ekonomi pasar” (market economy), menuntut penyesuaian mentalitas perusahaan pemerintah juga. Pada era ekonomi-terencana, perusahaan milik negara layaknya seperti seekor anjing. Pemerintah adalah pemilik anjing tersebut, yang menentukan jenis dan jumlah pakan yang akan ditelan oleh si anjing. Laksana anjing, tugas perusahaan hanyalah mengawasi aset-aset milik pemerintah tersebut, dan berharap untuk mendapatkan makanan enak jika bisa mematuhi perintah majikan. Sementara, di era ekonomi-pasar, perusahaan-perusahaan tersebut harus bertarung untuk mendapatkan makanan, layaknya seekor serigala. Serigala bertahan hidup lewat persaingan yang ganas, bertarung dengan sesama serigala dan binatang buas lainnya. Hanya mereka yang memenangkan pertarungan yang akan bertahan hidup dan mendapatkan penghormatan dari pesaing lainnya. Di negara kita, Indonesia, Dahlan Iskan telah menampilkan gaya kepemimpinan yang baru dalam institusi badan usaha milik negara. Namun sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Dahlan adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah “badan usaha”, yang memang ditakdirkan sebagai “serigala” yang musti bertarung keras untuk memenangkan persaingan. Namun, kalau yang diutamakan adalah wacana “milik negara”nya (bukan “badan usaha”nya), jangan heran jika yang dilakukan oleh Dahlan dianggap aneh sekaligus lebay. Institusi BUMN bisa memilih, apakah menjadi anjing atau serigala?

Selasa, 10 September 2013

Negarawan dan Politisi (Mengenang Widjajono Partowidagdo)

Beberapa saat setelah artikel ini ditulis, seperti disambar geledek di siang bolong, publik mendapat berita bahwa Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, meninggal dunia pada tanggal saat sedang mendaki gunung Tambora. Ya, bertepatan dengan hari Kartini, 21 April 2012, pejabat yang cerdas, dedikatif dan tulus ini menghadap Sang Pencipta. Saya tak ragu untuk mendedikasikan tulisan yang sudah saya siapkan ini sebagai kenangan dan penghargaan (tribute) kepada beliau, orang yang sangat ngotot memperjuangkan kebijakan energi yang baru di Indonesia, semata-mata demi keselamatan dan kemaslahatan generasi yang akan datang. Semua orang yang bergerak di bidang change-management sepakat bahwa satu-satunya hal yang pasti (dan tidak berubah) adalah perubahan itu sendiri. Perubahan, sesuai dengan hakekatnya, cenderung mendatangkan ketidakpastian. Atas alasan itulah, manusia secara naluriah tidak menyukai perubahan. Sesungguhnya bukan perubahan itu yang dihindari manusia, melainkan ketidakpastian yang ditimbulkan olehnya. Manusia butuh kepastian, supaya bisa menyusun rencana dan menata langkah hidupnya, dan pada akhirnya bisa mewujudkan cita-cita yang ditetapkan. Kebijakan pemerintah atas bahan bakar minyak bersubsidi belakangan ini telah menimbulkan ketidakpastian pula. Publik seperti sedang menghitung jerit tokek, antara dinaikkan atau tidak. Belum selesai urusan menaikkan harga BBM bersubsidi, muncul wacana untuk melahirkan BBM hibrida premix dengan mencampurkan premium dan pertamax Dan, yang terkini tentunya rencana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi, yang akan dikenakan pada tipe kendaraan tertentu. Publikpun mulai menebak suara tokek lagi, apa yang menjadi dasar pemberlakuan kebijakan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi. Apakah ukuran cc mobil, warna pelat kendaraan, atau daerah distribusi. Entahlah..., mari kita menunggu saja. Baru-baru ini, Laksamana Michael Mullen, mantan Kepala Staff Gabungan Amerika, ditanyai : “apa ancaman paling serius terhadap keamanan nasional Amerika?”. Di luar dugaan, ternyata sang Laksamana tak menjawabnya dengan hal-hal yang berbau militer, seperti ancaman terorisme internasional, senjata nuklir Iran ataupun Korea Utara, dan juga potensi konflik domestik menjelang pemilu presiden pada november 2012. “Defisit anggaran!”, itulah jawaban yang keluar dari mulutnya. Defisit anggaran akan menyedot setiap dolar yang dimiliki bangsa tersebut, dan bisa mengakibatkan negara Paman Sam tersebut kehilangan daya-saingnya. Erskine Bowles, mantan Kepala Staf Gedung Putih Amerika, dalam tulisannya bertajuk The Danger of Doing Nothing (HBR, March 2012) menegaskan bahwa persoalan defisit anggaran di atas bukanlah persoalan Mullen pribadi. Publik yang memerlukan pendidikan yang baik, penelitian yang lebih berbobot serta pembangunan jalan, jembatan dan pelabuhan yang baru, praktis menyerukan hal yang sama. Masalahnya, bagi Bowles, pemerintahan Washington tak cukup mantap mengambil langkah serius untuk mengatasi persoalan tersebut. Mengapa? Karena sekali keputusan itu diambil, mau tak mau harus ada pengorbanan bersama yang ditanggung. Pengorbanan itu tak terelakkan, karena memang bagian dari upaya investasi untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Lebih jauh, bagi Bowles, komunitas bisnis juga bertanggung-jawab atas sikap pemerintah yang “tak melakukan apa-apa ini”. Dunia bisnis, sebagai salah satu komunitas madani yang kuat, praktis tak melakukan langkah berarti untuk mendorong pemerintah mengambil langkah nyata untuk membereskan persoalan defisit anggaran. Dan, sikap pasif komunitas bisnis dapat ditafsirkan sebagai persetujuan tak langsung terhadap sikap pemerintah yang tak berbuat nyata. “If we in the business community allow members of Congress to think that doing nothing is OK, then that’s exactly what they’ll do”, katanya. Pada dasarnya, tidak mengambil keputusan adalah sebuah keputusan juga. Not to decide is to decide. Mahatma Gandhi pernah bertutur, “you may never know what results come of your action, but if you do nothing, there will be no result”. Kita memang tak pernah bisa memastikan hasil dari sebuah keputusan yang kita ambil, bisa jadi hasilnya membawa keadaan semakin baik, atau malah menggiring keadaan semakin buruk. Namun kita bisa memastikan, jika tak ada keputusan yang diambil, maka tak akan adapula hasil yang bisa raih. Sebaik-baiknya tak mengambil keputusan, toh akan lebih baik jika kita mengambil keputusan. Mengapa? Jika keadaan menjadi lebih baik akibat keputusan yang diambil, kita pantas untuk bergembira karena demikianlah mustinya harapan kita. Namun jika keadaan justru lebih buruk, toh itu berarti ada kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri dan mengambil keputusan yang lebih baik! Dua hal ini, yakni : hasil baik (akibat keputusan yang “benar”) dan kesempatan memperbaiki diri (akibat keputusan yang “salah”), tak pernah akan muncul jika kita tak mengambil keputusan sama sekali. Urusan kebijakan BBM di dalam negeri yang hingga kini belum diputuskan tuntas, bisa saja tak mendatangkan implikasi serius dalam jangka pendek dan berdampak langsung pada generasi masa kini. Namun, sejarah juga mencatat bahwa setiap kenikmatan yang kita cicipi pada saat ini, juga didahului oleh pengorbanan yang ditempuh oleh generasi masa lalu. Tidaklah berlebihan juga, jika generasi masa kini merelakan diri untuk berkorban, agar kenikmatan yang sama (bahkan lebih) juga dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Seorang penulis Amerika, James Freeman Clarke (1810-1888) pernah berkata “a politician thinks of the next election; a statesman of the next generation. A politician looks for the success of his party; a statesman for that of the country. The statesman wished to steer, while the politician was satisfied to drift”. Itulah yang membedakan antara seorang negarawan dan politisi. Saya percaya bahwa almarhum Widjajono Partowidagdo adalah seorang pejabat berwatak negarawan, yang bertindak untuk kesejahteraan bangsanya, bukan kepentingan pribadinya. Demikian pula, kebijakan energi baru yang diperjuangkannya, pasti dilandasi kepedulian akan perlindungan dan kemaslahatan generasi yang akan datang, bukan pemilu di tahun 2014. Boleh jadi, kepergian Widjajono adalah pertanda bahwa bangsa ini perlu segera memikirkan, menyepakati dan memutuskan kebijakan energi yang baru, semata-mata demi kesejahteraan bersama bangsa ini dan kemaslahatan generasi masa depan. Semoga kita tidak terlambat. Salam hormat untuk Bapak Widjajono Partowidagdo

Senin, 02 September 2013

Abundance Mentality : Spirit Kapitalisme Baru

Almarhum Michael D. Ruslim, mantan orang nomor satu di Astra International suka berpesan, “Kalau tak bisa membuat orang lain gembira, jangan membuat mereka susah”. Intinya sederhana saja, jadikanlah kehadiran kita menjadi sumber kegembiraan, bukannya kejengkelan ataupun ketidaknyamanan orang lain. Boleh jadi almarhum berpesan seperti itu, karena melihat ada orang yang justru merasa bangga jika bisa menjadi trouble maker. Semakin bisa mendatangkan kejengkelan pada orang lain, semakin sukacitalah hatinya. Juga, semakin bisa menghadirkan ketakutan pada orang lain, semakin merasa terhormatlah yang bersangkutan. Tak heran, jika A’a Gym pernah mengatakan bahwa banyak orang yang “susah lihat orang senang, dan senang lihat orang susah”. Di dalam konteks pekerjaan, apa yang disampaikan A’a Gym ini mendapatkan pengukuhan, ketika kita melihat banyak orang yang bekerja dengan mengusung prinsip “jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”. Apapun jargon yang beredar, semua berujung pada sifat yang selfish alias mementingkan diri sendiri. Dikatakan selfish, karena hanya mau senang, menang dan happy sendiri, sekalipun itu harus menyusahkan, menyedihkan dan menjengkelkan orang lain. Orang-orang selfish akan merasa dirinya hebat, jika melihat orang lain jatuh terkapar. Mereka juga kecanduan untuk merayakan kegembiraan diatas kesusahan orang lain, karena berpandangan “my win is your loose”. Kita mungkin mengernyitkan dahi ketika merenungkan kalimat ini, namun boleh jadi kitapun termasuk salah seorang yang berpikiran seperti itu. Baru-baru ini saya mendapat kesempatan untuk berdiskusi dengan seorang sahabat dekat William Soeryadjaya, pendiri konglomerasi Astra International. Yang menarik perhatian saya dalam diskusi tersebut bukanlah tentang kepiawaian William dalam berbisnis dan membangun perusahaan sekelas Astra. Justru perilaku keseharian si Om (panggilan akrab segenap karyawan dan kerabat kepada William) yang mendatangkan pencerahan kehidupan. Di antara begitu banyak karakter dan perangainya, salah-satu yang paling menonjol adalah sifatnya yang murah hati alias generous. Di manapun berada, beliau sangat antusias untuk “berbagi”. Yang dibagikan bisa berupa uang, makanan ataupun oleh-oleh buah tangan lainnya. Ringkasnya, beliau ingin membagikan kegembiraan kepada sebanyak mungkin orang yang dijumpainya.
Tak heran, bahkan seorang Teddy Rachmat mengatakan bahwa “Om William adalah sosok yang kharismatis, yang kehadirannya mendatangkan aura positif dan kesukacitaan bagi orang-orang di sekitarnya”. Karena kemurahan-hatinya, banyak pihak yang berbondong-bondong mengajukan proposal permohonan bantuan kepada William. Ada proposal yang memang faktual adanya, namun tak jarang pula terselip proposal “bodong”, yakni proposal “tipuan” yang memanipulasi kemurahan hati William. Terhadap proposal bodong tersebut, William juga kerap mengulurkan tangan untuk memberikan santunan. Apakah ia bodoh dan naif? “Sama sekali tidak!”, kata sahabat dekat di atas. William justru adalah sosok yang cerdas. Saat diprotes oleh sang teman karena mengabulkan proposal bodong tersebut – dan itu berarti dirinya sedang ditipu - , William hanya menjawab ringkas dalam bahasa Belanda, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti : “let ‘em have a good day”. Kemurahan hati William begitu melimpah, bahkan hingga ia merelakan dirinya untuk ditipu sekalipun. Para pakar psikologi menyebut mentalitas kemurahan-hati yang besar itu sebagai abundance-mentality alias mentalitas kelimpah-ruahan. Orang dengan mentalitas seperti ini tak pernah merasa berkekurangan, dan oleh karenanya tak ragu untuk berbagi kepada orang-orang di sekitarnya. Ini berbeda dengan kebanyakan orang yang cenderung memiliki scarcity-mentality atau mentalitas kelangkaan. Mentalitas kelangkaan melihat hidup sebagai “zero-sum game”, yakni penjumlahan nihil dari dua hal yang saling bertentangan. Jika mau mendapatkan lebih, harus ada pihak yang dikorbankan. Demikian juga, jika mau bergembira, maka harus ada pihak yang dibuat bersedih hati. Dengan teropong mentalitas seperti ini, “menang” semata-mata berarti “mengalahkan” orang lain. Tak heran, orang yang memiliki mentalitas kelangkaan akan sulit untuk “berbagi” kepada orang lain. Karena dengan “berbagi”, mereka merasa ada bagian miliknya yang “terkurangi”. Sebaliknya, abundance-mentality menyikapi hidup dari perspektif yang sama sekali berbeda. Orang-orang seperti ini percaya bahwa apa yang ada di dunia ini lebih dari cukup untuk menghidupi semua makhluk di dalamnya. Mahatma Gandhi mengatakan “earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”. Dengan demikian, tak ada alasan untuk ragu berbagi, ataupun takut miliknya akan terkurangi. Justru dengan berbagi, mereka akan mendapatkan kembali. Dan, ini tak ada hubungannya dengan status dan peran seseorang, sekalipun ia adalah seorang “pengusaha”, yang acapkali diasosiasikan dengan sosok petarung yang suka bersaing dan mengumpulkan kekayaan. William adalah salah satu contoh terbaik pelaku kapitalisme baru yang dilansir oleh Patricia Aburdence dalam bukunya Megatrends 2010 (Hampton Roads, 2005), yang disebut conscious capitalism alias kapitalisme sadar diri. Kapitalisme jenis ini tak melulu bicara soal transaksi, uang dan kekayaan, tetapi justru sangat peduli dengan perkara-perkara semisal etika, kemaslahatan sosial dan kepedulian kepada sesama. Dalam hal ini, keuntungan usaha dan kekayaan pemiliknya dimaknai sebagai sarana untuk memperjuangan tujuan kehidupan yang lebih tinggi (higher purpose), yakni kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, alam sudah memberikan pertanda yang luar biasa bagi kita. Mari kita bandingkan air yang ada di empang dan di sungai. Air di empang umumnya keruh dan berbau, karena empang hanya menampung air yang masuk dan tak pernah mengalirkan kembali ke tempat lain. Sebaliknya, air di sungai selalu jernih dan segar, karena sungai mengalirkan kembali air yang di terimanya ke tempat lain. Ibarat sungai yang mengalirkan kembali air yang diterimanya, orang yang memiliki abundance-mentality juga membagikan kembali rezeki dan kegembiraan hidup yang didapatkannya kepada orang-orang di sekitarnya. Jadi, seperti kata Om William...”let ‘em have a good day!”

Kamis, 29 Agustus 2013

Compassion

Buku pemikir agama terkemuka di dunia, Karen Armstrong, yang berjudul Twelve Steps to a Compassionate Life (2010), mendapatkan sambutan yang luar biasa di pelbagai penjuru bumi. Tak terkecuali di Indonesia, dalam rangka perayaan ulang tahunnya yang ke 30, Penerbit Mizan telah mengundang Karen untuk memberikan ceramah sekaligus mendeklarasikan “Charter of Compassion” (Piagam Welas Asih). Bukanlah sebuah kebetulan juga, jika kesepakatan “Charter of Compassion” di Indonesia itu berbarengan dengan peluncuran “Gerakan Islam Cinta”, sebuah gerakan sosial keagamaan yang digagas Penerbit Mizan dengan mengutamakan prinsip cinta-kasih dan sikap bela-rasa dalam interaksi masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Buku Twelve Steps to a Compassionate Life tak hanya berisi hal-hal yang bersifat teoretis, namun dilengkapi dengan 12 langkah konkret untuk mewujudkan tindakan compassion atawa welas-asih. Di tingkat komunitas, seperti yang telah disinggung di atas, Karen juga menggagas inisiatif besar untuk meratifikasi “Charter of Compassion”, sebuah pakta kesepahaman tentang persetujuan atas sikap dan tindakan welas-asih. Sudah banyak komunitas dan organisasi di berbagai belahan dunia yang mengamini pakta tersebut, seperti warga kota Seattle – Amerika Serikat, yang mencoba menerapkan prinsip compassion setelah kasus penembakan polisi terhadap seorang warga lokal, ataupun masyarakat pendidikan Pakistan yang memasukkan konsep compassion dalam semua mata pelajaran sekolah. Yang menarik adalah, sesuai pengakuan Karen di dalam wawancaranya bersama Haria Kompas (23 Juni 2013), komunitas yang paling aktif dan maju dalam upaya mengadaptasi charter of compassion adalah organisasi bisnis atawa perusahaan. Saya katakan menarik, karena perusahaan yang selama ini dipersepsikan sebagai organisasi yang berwatak transaksional dan memburu rente, justru malah lebih antusias mempromosikan gagasan welas-asih dibandingkan dengan organisasi sosial dan pendidikan yang dari “sono”nya dituntut untuk menggarap urusan kemanusiaan. “Para pengusaha tertarik mengembangkan prinsip welas-asih karena keserakahan terbukti tidak bagus untuk bisnis, bahkan bisa merusaknya. Anda berbagi kepada sesama, dan Anda akan memperoleh lebih banyak lagi”, demikian tegas Karen. Sebenarnya, praksis compassion tidaklah benar-benar baru dalam komunitas bisnis. Beberapa filantropis dunia seperti Andrew Carnegie dan John D Rockefeller adalah contoh generasi bisnis tempo doeloe yang sangat murah-hati mengulurkan dana triliunan untuk santunan sosial-kemanusiaan. Saat ini, kita juga tahu ada tokoh-tokoh bisnis dunia seperti Bill Gates dan Warren Buffett (dan juga taipan bisnis di Indonesia seperti Dr. Tahir dan Jusuf Kalla) yang tak segan mendonasikan dana besar bagi keperluan humanity and social-responsibility. Namun, sesungguhnya apa makna compassion dalam pengertian Karen Armstrong? Apakah sekadar rasa kasihan terhadap yang berkekurangan, dan mengulurkan bantuan altruistik kepada mereka? Rasa kasihan (pity) jelas tidak salah, namun pengertian compassion juga jelas tidak berhenti di situ. Kata Karen, “compassion is not feeling sorry for people, or a pity. Compassion is about to endure with another person, put yourself in their shoes”. Sikap welas-asih adalah bentuk keterlibatan aktif kita terhadap kehidupan orang lain, terutama yang berkekurangan. Yang lebih penting lagi, sikap compassion bukanlah sesuatu yang naif dan utopis, dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang sekelas nabi. Sebaliknya, compassion adalah sesuatu yang bersifat manusiawi, dan dibangun diatas kaidah-kaidah perkembangan manusia secara alamiah. Guru kebajikan Konfusius (551-479 SM) jauh-jauh hari sudah mengatakan “jangan melakukan kepada orang lain, apa yang kita tak ingin mereka lakukan kepada kita”. Kalau kita tak hendak disakiti oleh orang lain, maka sudah selayaknya juga kita jangan berperilaku demikian terhadap orang lain. Sebaliknya juga, jika kita ingin dicintai oleh orang lain, maka tak perlu ragu pula untuk menunjukkan sikap belas-kasih kepada mereka. Lebih jauh, kita pun tak perlu beralasan bahwa demi mempertahankan hidup (survival of the fittest), kita harus bersaing, dan jika perlu mengorbankan orang lain. Teori evolusi modern sudah menunjukkan bahwa untuk bertahan hidup (survival), manusia tak hanya butuh persaingan (competition), namun sebaliknya juga kerja sama (cooperation). Otak manusia modern juga telah mengalami evolusi, beralih dari “otak tua” yang dipenuhi dengan sifat-sifat haus kekuasaan semisal “bertarung, bersaing dan mengalahkan orang lain” menuju “otak muda” yang dilingkupi oleh sifat-sifat yang cinta keindahan seperti “berdiam diri, berempati dan mengasihi orang lain”. Kata guru saya setengah bercanda, hidup bukanlah sekadar “memenangkan pertarungan atas orang lain”. Jika kita hanya menang atas orang lain, boleh jadi kita akan menangis di kemudian hari. Lebih jauh, hidup adalah kesempatan untuk “terlibat dengan kehidupan orang lain”. Dengan sikap terlibat, kiranya hidup kita sebagai manusia akan menjadi jauh lebih bermartabat. Bagi saudara-saudara yang menjalankan, saya haturkan selamat menunaikan ibadah puasa, tentunya juga ...dalam semangat welas-asih.

Selasa, 20 Agustus 2013

Sir Alex Ferguson : A Level-5 Leader


Berita pensiunnya Alex Ferguson dari kursi kepelatihan Manchester United pada awal Mei 2013 menjadi bahan perbincangan yang sungguh menarik. Kebetulan, secara pribadi saya adalah penggemar sepak-bola (khususnya Barclays Premier League), dan fans setia tim berjuluk Setan Merah alias Manchester United. Hanya beberapa saat berselang setelah deklarasi pengunduran diri Sir Alex, saya dan teman-temanpun berdiskusi – sambil setengah bertaruh – tentang suksesor Opa keturunan Skotlandia yang sudah berumur 71 tahun. Beberapa nama sempat muncul ke permukaan, dari sosok seperti Jose Mourinho, Manuel Pellegrini, Juergen Klopp, Ole Gunnar Soelskjaer hingga David Moyes. Namun, di dalam diskusi kami, nama-nama tersebut mengerucut kepada dua sosok yakni : sang special-one Mr. Mou dan si scottish Moyes. Teman saya yakin bahwa Mr. Mou dengan kecerdasan strateginya yang di atas rata-rata dan kharisma kepelatihan yang luar-biasa akan mendarat di Old Trafford menggantikan Sir Alex. Sebaliknya, analisa dan intuisi saya mengatakan bahwa pembesut tim papan-tengah Everton, David Moyes lah yang akan menduduki kursi panas kepelatihan memimpin Ryan Giggs dkk.

Terbukti, beberapa hari kemudian, manajemen Manchester United akhirnya menetapkan Moyes sebagai pengganti Sir Alex. Sebagian orang mungkin bertanya masygul, bagaimana mungkin seorang Moyes yang selama karir kepelatihannya (khususnya di Everton) tak pernah sekalipun mengangkat trofi kejuaraan, terpilih menjadi suksesor ? Bandingkan dengan Sir Alex, yang selama melatih MU sejak 1986, telah mengoleksi 38 trofi kejuaraan besar! Namun, seorang legenda yang juga anggota direksi MU, Sir Bobby Charlton, menyebutkan bahwa pertimbangan pengembangan tim secara “jangka-panjang”lah yang membuat Moyes terpilih sebagai pelatih. Seorang Mourinho boleh jadi jauh lebih hebat dan kharismatis dibandingkan dengan Moyes, namun “pertimbangan jangka-panjang”lah yang membuat pria Portugal tersebut tak dipilih untuk membesut MU.

Membangun organisasi (termasuk membangun sebuah tim) pada dasarnya adalah membangun institusi. Guru saya selalu mengatakan, jika diibaratkan dengan olah-raga lari, maka perkara “organization building” (pengembangan organisasi)  ibarat olah-raga lari maraton (yang berjarak tempuh jauh;  42, 195 km), bukannya lari sprint (yang berjarak pendek ratusan meter). Dengan demikian, dalam hal ini “kecepatan” saja sangatlah tidak cukup. Lebih dari kecepatan, yang dibutuhkan adalah “kekuatan dan daya tahan” secara jangka-panjang. Demikian pula, membangun kehebatan organisasi pada esensinya adalah membangun kejayaan institusi (lembaga), bukan membangun kedigdayaan individu (perorangan). Dari sisi inilah, kita bisa melihat mengapa akhirnya David Moyes yang dipilih menjadi pelatih baru MU, bukannya Mourinho.  Pengalaman kepelatihan Mourinho di beberapa tempat, dari Porto, Chelsea, Inter Milan dan Real Madrid, acapkali menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang “sprinter” yang terampil meloncat dengan positioning diri sebagai “superstar individual”. Perasaan superioritas individual inilah yang membuatnya nyaman-nyaman saja mengklaim dirinya sebagai “the special one”.

Sehebat-hebatnya seorang Sir Alex, dengan setumpuk kekuasaan yang dimilikinya dan sederet prestasi yang diraihnya, ia tak pernah mendeklarasikan diri sebagai “the great man of Manchester United”. Walaupun ia adalah sosok yang paling berjasa menjadikan Manchester United sebagai klub besar yang mendunia, Sir Alex toh tetap menyadari dirinya sebagai bagian dari organisasi tersebut, bukan “pemilik atau penguasa” yang berada “di atas” organisasi. Bahkan di dalam pidato perpisahannya di depan puluhan ribu pendukung Setan Merah di stadion Old Trafford, Sir Alex justru memberikan pesan utama agar para fans klub tersebut memberikan dukungan yang sepenuh-penuhnya kepada David Moyes , sang suksesor. Betapa yang bersangkutan sungguh-sungguh mengutamakan kelanggengan organisasi, di atas kehebatan dirinya sendiri.

Fenomena Sir Alex mengingatkan saya pada teori Level-5 Leadership yang digagas oleh Jim Collins  dalam bukunya Good to Great (2001).  Bagi Collins, pemimpin level-5 adalah derajat praksis kepemimpinan organisasi yang paling tinggi, yang berhasil memadukan dua hal yang sekilas terlihat paradoksal, yakni : ambisi dan kerendahan hati. Kita mungkin bertanya, apakah mungkin orang yang ambisius, bisa sekaligus bersikap rendah hati? Sebaliknya pula, apakah mungkin orang yang rendah hati, sekaligus memiliki ambisi tinggi? Namun, studi Collins menunjukkan bahwa kedua hal tersebut dapat dipadukan dalam diri seorang pemimpin, persisnya pemimpin kelas wahid alias level-5. Bagi pemimpin kelas ini, ambisi yang disimpannya tertuju kepada kejayaan organisasi, bukannya demi kemuliaan diri sendiri. Sementara itu, kerendahan hatinya terpantul dari sikapnya yang tetap menjadikan dirinya sebagai “bagian dari organisasi”, bukannya the special-one yang lebih hebat dan mengatasi reputasi organisasi.


Sir Alex, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dapat digolongkan sebagai pemimpin level-5 di dunia organisasi olah-raga. Mewakili fans Manchester United (di Indonesia), perkenankan saya untuk mengucapkan “Thank you Sir Alex. Your organization’s mission has been accomplished!
Siapakah Sang Pemimpin?

Pemilu memang masih baru akan berlangsung satu tahun lagi. Namun jauh-jauh hari, dan terutama saat-saat sekarang ini, para kandidat yang merasa dirinya pantas menjadi pemimpin Indonesia di masa depan sudah giat mengkampanyekan dirinya. Partai-partai politik  hingga kelompok masa juga mulai mengelus jagoannya masing-masing, entah secara malu-malu ataupun terbuka. Bahkan sudah ada partai yang secara resmi mendeklarasikan nama calon presiden dan wakil presiden, lengkap dengan tayangan langsung di stasiun televisi tertentu.

Suka tidak suka, lebih banyak orang yang melihat posisi kepemimpinan sebagai sebuah peluang, daripada amanah. Sebagai suatu peluang, kepemimpinan harus diperjuangkan dan diperebutkan, bahkan terkadang dengan mengorbankan nilai moral dan aturan hukum yang berlaku. Bermacam siasat ditempuh, agar calon yang diusungnya dapat tampil sebagai pemenang. Demikian pula, slogan dan janji-janji kampanye juga bertebaran sana sini laksana balon busa yang terbang kesana kemari. Dan sudah menjadi rahasia umum, lalu-lintas setoran uang menjadi bumbu yang tak terpisahkan dari menu praktek politik, yang sehari-hari dikenal dengan sebutan money-politics. Atas nama keinginan menjadi seorang pemimpin, orang rela melakukan hal apapun, dengan cara apapun, bahkan harus mengorbankan seseorang sekalipun.

Namun, sebenarnya siapakah sang pemimpin itu? Ini pertanyaan yang sangat sederhana, sekaligus juga paling mendasar dalam ilmu manajemen dan kepemimpinan. Setiap kajian dan buku tentunya memiliki definisi dan kriteria yang berbeda-beda. Dengan demikian jawaban terhadap pertanyaan tersebut, sangat tergantung kepada buku yang kita baca. Tulisan ini juga tak bermaksud untuk membedah, apalagi mengkonfrontasikan berbagai definisi kepemimpinan yang dirumuskan oleh para pakar. Tulisan ini hanya bermaksud mengajak kita untuk merenungkan secara mendalam esensi kepemimpinan, hal yang jauh lebih penting dari urusan motif, praktek dan gaya kepemimpinan.

Sejatinya, sejarah mencatat begitu banyak cerita gelap tentang para pemimpin yang dianggap sukses pada awalnya, namun berujung tragis pada akhir masa kepemimpinannya. Tanpa perlu menoleh ke belahan bumi lain pun, kita tahu ada dua presiden kita yang menutup masa kepemimpinannya dan mengakhiri hari tuanya dengan suasana yang tak nyaman. Bung Karno harus menyerahkan kekuasaannya pada tahun 1967, setelah MPRS menolak pidato pertanggung-jawabannya sebagai presiden, dan mengakhiri hidupnya dengan status sebagai tahanan politik. Pak Harto pun akhirnya musti mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin negara ini pada tahun 1998, setelah menghadapi demonstrasi mahasiswa yang begitu masif dan ditinggalkan oleh sebagian menteri-menteri kabinetnya, dan menjalani masa tuanya dalam keadaan sakit stroke di tengah sorotan publik akan praktek KKN dan pelanggaran HAM di era Orde Baru. Mereka-mereka adalah pemimpin yang begitu kharismatik dan memanen pujian pada awal masa berkuasa, namun harus mengisi akhir hidupnya secara tragis dan memilukan.

Orang bijak dari timur yang hidup sebelum zaman Masehi, Lao Tzu, sejak dahulu kala sudah memberikan petuah kepemimpinan nan arif. Katanya, “seorang pemimpin bisa dibilang paling baik bila pengikutnya hampir tidak menyadari kehadirannya. Pemimpin bisa kita anggap cukup baik kalau para pengikutnya patuh dan memujanya. Adapun pemimpin bisa kita anggap jelek, jika para pengikutnya justru membenci dan bahkan mengecamnya”.  Pesan ini mengandung makna bahwa pada akhirnya peran kepemimpinan tak lebih dari sekadar “kurir”, yang mengantar orang-orang yang dipimpinnya untuk menemukan jalan terbaik dan menunjukkan kinerja terbaik bagi dirinya sendiri.  Kemuliaan seorang pemimpin justru terpantul dalam bentuk kehebatan dari orang-orang ataupun kelompok yang dipimpinnya, bukannya kegemilangan dirinya sendiri. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus rela “menenggelamkan” kehebatannya di balik kehebatan orang-orang ataupun kelompok yang dipimpinnya.

Demikianlah hakekat kehebatan yang sejati, yakni saat eksistensi pribadi sang pemimpin seolah-olah lenyap di tengah-tengah pencapaian dan prestasi dari kawanan yang dipimpinnya. Seorang pemimpin sejati selalu menempatkan kepentingan dan kehebatan orang-orang yang dipimpinnya di atas kepentingan dan kehebatan dirinya sendiri. Seperti kata Maya Angelou -  seorang pejuang multi-talenta dan salah satu “guru bangsa” Amerika saat ini -, “a leader sees greatness in other people. You can’t be much of a leader if all you see is yourself”.

Pemimpin sejati berjuang untuk kemaslahatan bersama dan kemuliaan manusia di sekitarnya. Tanpa semangat untuk memperkaya diri dan membangun reputasi pribadi, mereka justru tak ragu untuk memberikan sebanyak-banyaknya dari dirinya sendiri kepada orang-orang yang dipimpinnya. Seperti seorang ibu, mereka rela memberi tanpa berharap mendapatkan balas jasa kembali.
Namun, sudah menjadi hukum alam pula, bahwa “when you give the best out of yourself, you will get the best out of others”.