Minggu, 23 Maret 2014

Strategy : The Art of Possibility

Seperti biasa, apalagi kegiatan yang paling menyita perhatian para pelaku organisasi di akhir tahun, kalau bukan menyiapkan rencana kerja tahun depan? Bahasa kerennya strategic-planning alias perencanaan strategis, yakni perumusan strategi untuk mencapai mimpi-mimpi organisasi di masa yang akan datang. Banyak perusahaan yang secara sadar melakukan kegiatan tahunan ini, karena memang betul-betul memetik manfaat nyata darinya. Namun, tak sedikit pula perusahaan yang melakukan kegiatan ini tak lebih dari sekadar ritual tahunan. Maksudnya, jika tak dilakukan, akan merasa tak nyaman; sebaliknya jika dilakukan, sebenarnya tak ada pengaruh apa-apa. Mungkin pembaca tersenyum dengan pernyataan terakhir ini, namun jangan buru-buru untuk tak setuju dulu. Cara terbaik untuk membuktikan efektivitas kegiatan strategic planning adalah dengan melakukan evaluasi terhadap pencapaian strategi masa sebelumnya, sebelum merumuskan strategi masa yang akan datang. Ada perusahaan yang melakukan evaluasi ini secara seksama, namun banyak juga perusahaan yang menjalankannya sambil lalu saja, bahkan beberapa perusahaan tak melakukannya sama sekali. Survey kecil yang saya lakukan terhadap para manajer beberapa perusahaan menyimpulkan bahwa acapkali perusahaan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk aktivitas bernama strategic-planning, namun dampaknya terhadap langkah-nyata perusahaan (corporate actions) ternyata tak seberapa. Rumusan strategis yang telah dibuat sedemikian rupa dengan pendekatan yang metodologis, tak jarang berujung pada kondisi status-quo di lapangan. Kalau sudah demikian, kita hanya bisa bertanya “apa yang salah?”. Memang, yang paling mudah disalahkan adalah perkara eksekusi. Para pimpinan cenderung akan mengatakan “strategi (dari atas) sudah benar, eksekusinya (di lapangan) yang tidak tajam”. Bukanlah paling nikmat untuk menyalahkan pihak luar, daripada merenungkannya di dalam diri sendiri. Para strategic planners-pun akan berkilah serupa, karena mereka merasa sudah memfasilitasi proses perencanaan strategis dengan cara yang super-cermat, di atas asumsi-asumsi yang super-kuat pula. Para strategic-planners umumnya meyakini bahwa perumusan strategi yang baik musti didukung oleh segunung data dan angka, analisa yang lengkap, dan yang terpenting tak terkontaminasi oleh bias, penilaian ataupun opini subjektif. Banyaknya data yang terkandung dalam spreadsheet dan banyaknya langkah analisa yang ditempuh, seolah-olah menjadi jaminan bagi keabsahan dan keilmiahan proses perencanaan strategis yang dilakukan. Namun, jika proses perencanaan strategis itu memang dilakukan di atas pijakan analisa yang kuat, mengapa hasilnya begitu minimal, bahkan nyaris tak ada sama sekali alias status-quo? Dalam artikelnya bertajuk Bringing Science to The Art of Strategy (HBR, September 2012), mantan CEO perusahaan P&G, A.G. Lafley dkk, mengatakan bahwa semakin banyak angka-data yang tersedia dan semakin ribet proses analisa yang dilakukan, tak otomatis berarti semakin ilmiah pula proses perencanaan strategis yang dijalankan. Lewat studi eksperimentalnya, mereka berkesimpulan bahwa lebih dari sekadar kelengkapan data dan kerumitan analisa, yang terpenting adalah mindset (pola pikir) yang tepat saat menjalani proses perumusan strategi. Strategi adalah ‘the art of probability” (seni kemungkinan), bukannya semata-mata “the moment of dreaming”. Strategi bukanlah sekadar merumuskan mimpi-mimpi tanpa memusingkan kemungkinan pencapaiannya. Memikirkan strategi berarti sekaligus memikirkan wujud cita-cita dan kemungkinan pencapaiannya. Alih-alih menjadikan strategi sebagai alat-sulap abrakadabra, lebih tepat melihat strategi sebagai sarana untuk mendeteksi peluang dan kemungkinan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa seberapa dahsyatnya pun strategi yang dirumuskan, jika derajat kemungkinan pencapaiannya teramat kecil, tetaplah itu strategi yang impoten. Lagi-lagi, seperti bunyi pepatah bijak, “dream is good, but reality is even better”. Lafley dkk menamai proses perencanaan strategis di atas sebagai pendekatan probability-based, artinya memikirkan tingkat kemungkinan pencapaiannya. Mungkin terkesan mudah, namun pada kenyataannya tak sesederhana yang dibayangkan. Tantangan terbesar bukanlah terletak pada perbedaan proses perumusan strategi, namun terlebih-lebih kepada perubahan mindset (pola pikir) para manajer yang menjadi pelaku perumusan strategi. Paling tidak, ada tiga perubahan pola-pikir fundamental yang harus dilakukan oleh para manajer pemikir strategi. Pertama, sebagai langkah awal, alih-alih bertanya “Apa yang harus kita lakukan? (What should we do?)”, lebih tepat jika bertanya “Apa yang mungkin bisa kita lakukan? (What might we do?)”. Banyak manajer, terutama yang merasa dirinya hebat dan mampu melakukan hal-hal besar, secara alamiah terlatih mengajukan pertanyaan pertama, dan merasa tak nyaman dengan pertanyaan yang kedua. Kedua, para manager musti mengalihkan pertanyaannya, dari “Apa yang saya percayai?” (What do I believe?) menjadi “Apa yang nantinya harus saya percayai?” (What would I have to believe)?”. Ini menuntut para manajer untuk terbuka kepada setiap kemungkinan ide, termasuk ide yang tak disukainya secara pribadi sekalipun. Inipun tak mudah, karena tanpa disadari kita mempunyai preferensi pribadi yang membuat kita sulit bersikap objektif. Keterbukan sikap seperti ini diperlukan agar kita bisa membedah derajat kemungkinan pencapaian (probabilitas) secara objektif. Dan yang ketiga, ini yang paling sulit, yakni beralih dari pola pikir “Apa jawaban yang tepat?” (What is the right answer?) menuju “Apa pertanyaan yang tepat?” (What is the right question?). Perubahan paradigma yang terakhir ini menjadi begitu sulit, karena secara alamiah orang jauh lebih terlatih untuk menjawab, daripada bertanya. Padahal, hanya dengan bertanya, kita bisa mengumpulkan informasi dan menyimak pandangan orang lain. Dengan bertanya pula, kita bisa mengerti keadaan di sekitar dengan lengkap. Bagaimanapun, keputusan strategis yang diambil, pada akhirnya akan dijalankan oleh banyak orang di dalam organisasi, bukan oleh sang pengambil keputusan itu sendiri. Dengan demikian, pemahaman terhadap pandangan banyak orang, akan menjadi dasar yang kuat untuk melahirkan sebuah keputusan strategis yang executable; keputusan yang tak hanya berhenti di atas kertas, namun mendorong langkah implementasinya di lapangan. Pada akhirnya, strategi adalah pilihan atas sebuah kemungkinan tindakan, bukan sekadar rumusan angan-angan nun jauh di awan.

Kamis, 13 Maret 2014

Studi Banding

Saya sempat tertegun sejenak, ketika menyaksikan penolakan publik (termasuk para mahasiswa dan pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri) terhadap kunjungin studi-banding yang dilakukan oleh para wakil rakyat ke negeri seberang. Begitu maraknya kejengkelan yang diekspresikan banyak kalangan, sampai-sampai ada fraksi di DPR yang mengusulkan pemberlakuan “moratorium” alias jedah sesaat kegiatan studi banding tersebut. Dalam hati, saya bertanya apa yang salah dengan kegiatan berlabel “studi banding”, yang per definisi berarti kegiatan pembelajaran kepada pihak lain yang relevan dengan kebutuhan kita? Bukankah orang-orang bijak mengajarkan setiap makhluk di bumi (apalagi para pemimpin) untuk rajin belajar, agar semakin arif-bijaksana dan tercerahkan. Pakar kepimpinan Rick Warren pernah berkata, “never stop learning. All leaders are learners. The moment you stop learning, you stop leading”. Bahkan filsuf besar Romawi, yang juga pernah menjadi penasihat kaisar Nero, yakni Lucius Seneca, dengan tegas mengatakan “as long as you live, keep learning how to live”. Artinya, jika hidup adalah sebuah perjalanan, itu adalah perjalanan pembelajaran. Sebagai orang yang menangani agenda pembelajaran korporasi (corporate-learning) di sebuah perusahaan, saya banyak bergelut dengan kegiatan studi banding lintas perusahaan, yang juga dikenal dengan istilah “benchmark”. Saya kerap mengajukan permohonan benchmark kepada perusahaan lain, dan pada saat yang bersamaan juga banyak menerima permohonan benchmark dari perusahaan lain ke tempat saya bekerja. Dan dalam dunia usaha, sejak awal tahun 1980-an benchmark telah menjadi salah satu aktivitas pembelajaran yang lazim dan memberikan manfaat positif. Hampir semua perusahaan yang tergabung dalam Fortune-500 melakukan benchmark untuk menjaga dan meningkatkan daya saingnya. Salah-satu cerita klasik tentang keberhasilan kegiatan benchmark kelas dunia yang menjadi inspirasi bagi perusahaan lain untuk melakukan kegiatan sejenis adalah pengalaman perusahaan Xerox pada tahun 1983. Pada saat itu, perusahaan mesin fotokopi yang begitu digdaya di era 1960-70an, perlahan tapi pasti, berkembang menjadi organisasi yang tambun, lamban, sekaligus juga arogan. Mereka menjadi tak sensitif terhadap perkembangan di luar, karena begitu terpukau dan terpaut dengan kesuksesan yang mereka nikmati di masa lalu. Padahal, manapula ada makhluk yang bertahan kekal di muka bumi, tanpa melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya? Dipimpin oleh CEO barunya pada saat itu, yakni David Kearns, Xerox melakukan business-turnaround secara mendasar dan besar-besaran. Yang menarik adalah bahwa benchmark dijadikan sebagai salah agenda utama dalam keseluruhan rangkaian proyek pembenahan bisnis tersebut. Semua manajer diharuskan melakukan benchmark alias studi-banding ke perusahaan-perusahaan terbaik dunia, bahkan di manapun perusahaan itu berada. Mereka diharuskan untuk belajar dari keunggulan-keunggulan perusahaan tersebut, dan merumuskan kemungkinan aplikasinya di dalam Xerox. Dari situlah, lahir revolusi bisnis Xerox yang memampukannya untuk tetap bertahan dan bersaing dalam industri fotokopi hingga saat ini. Namun, pembaca, kita tidak perlu buru-buru kagum dengan kegiatan benchmark ataupun studi banding hanya dengan membaca kisah di atas. Pada kenyataannya, banyak sekali agenda benchmark yang tak mendatangkan manfaat apa-apa dan berakhir sebagai kunjungan wisata belaka. Dalam bukunya, Benchmarking for Competitive Advantage (1994), Rober J. Boxwell mengakui adanya potensi kegagalan yang besar dari kegiatan bertajuk benchmark. Oleh karenanya, untuk memastikan agar kegiatan pembelajaran lintas institusi ini berjalan dengan baik, minimal ada dua syarat yang perlu dipenuhi. Pertama, harus ada kesiapan dari insitusi penerima untuk membagikan (sharing) bahan pembelajarannya kepada institusi pengunjung. Tampaknya ini perkara yang mudah, namun pada kenyataannya tak banyak institusi yang terlatih untuk berbagi (sharing), karena sharing bisa berarti membuka peluang untuk membocorkan rahasia ataupun menghamburkan resep sukses perusahaan. Jika hal itu yang terjadi, biasanya yang disharingkan dalam kegiatan benchmark tersebut tak lebih dari sekadar company-profile yang tak mendatangkan manfaat pembelajaran apa-apa. Kedua, dan ini yang lebih penting, adalah kesiapan dari institusi pengunjung pada saat melakukan benchmark, dalam hal ini adalah kesiapan untuk belajar. Profesor ternama dari Harvard Business School, Clayton Christensen, pernah berpesan kepada para orang-tua, “Ajarlah anak anda ketika mereka siap untuk belajar, bukannya pada saat anda siap untuk mengajar”. Christensen tahu persis bahwa efektivitas pembelajaran terutama terletak kepada kesiapan dari pembelajar, bukan kehebatan sang pengajar. Jadi, jika pada saat melakukan studi banding, kita memang siap untuk “belajar”, niscaya pikiran dan langkah kita akan tertuntun ke tempat-tempat yang menyediakan begitu banyak bahan pembelajaran. Namun, jika kita lebih siap untuk “berwisata”, pikiran dan langkah kita pun akan terayun ke tempat-tempat belanja dan pusat keramaian, dimana kita bisa memanjakan panca-indera, tanpa pernah mendapatkan pencerahan bagi isi kepala. Dengan demikian, jika ada kegiatan studi-banding yang tak dilandasi kesiapan untuk belajar, memang patut dicurigai sebagai kunjungan wisata belaka.

Minggu, 02 Maret 2014

Believing is Seeing

Seorang CEO mengeluh kepada saya tentang tingginya turn-over karyawan yang terjadi di perusahaannya. Katanya, “rekrutmen sudah kita lakukan dengan cara yang seksama, dari pemeriksaan Curriculum Vitae, asesmen psikologi bahkan sampai tes kerja lapangan (job test), toh ujung-ujungnya yang bersangkutan cuma kerja sebentar. Habis itu, quit!!”. Boleh jadi, apa yang dialami sang CEO di atas juga dialami oleh kebanyakan perusahaan. Bahkan, ada seorang CEO lain yang saking pusingnya menghadapi persoalan turn-over dan bajak-membajak karyawan, berkelakar begini “Wah, waktu kita ternyata lebih banyak dihabiskan untuk menangani urusan orang, daripada urusan bisnis itu sendiri”. Jadi kalau organisasi anda sedang mengalami kepusingan menghadapi persoalan perpindahan karyawan yang intens, jangan khawatir...anda tidak sendirian. Bukan hanya di Indonesia, di belahan dunia lain pun muncul persoalan yang sama. Para pengamat organisasi yakni Monika Hamori, Jie Cao dan Burak Koyuncu melakukan studi perihal kegelisahan para pekerja (khususnya para manajer muda) di tempat kerjanya masing-masing. Dalam artikelnya yang bertajuk “Why Top Young Managers Are in a Nonstop Job Hunt” (HBR, July-August 2012), mereka memaparkan hasil studi yang dilakukan terhadap 1200 manajer muda secara on-line. Para manajer muda yang disurvey ini adalah kelompok profesional bertalenta hebat, dengan kisaran umur 30-an, memiliki catatan prestasi akademis yang tinggi, lulusan dari perguruan tinggi ternama, dan bahkan memiliki pengalaman magang di perusahaan-perusahaan internasional. Hasilnya? Tiga per empat dari mereka selalu menjalin kontak dan mengirim resume/CV kepada perusahaan headhunter, dan melakukan wawancara untuk mendapatkan pekerjaan baru (job interview) paling tidak setahun sekali. Hampir 95% dari mereka secara rutin terlibat dalam aktivitas sejenis, mulai dari sekadar meng-update CV ataupun mencari informasi tentang lowongan pekerjaan baru. Dan, umumnya mereka meninggalkan pekerjaannya setelah bekerja selama rata-rata 28 bulan. Ada beberapa persoalan yang memicu kegelisahan para manajer muda berbakat tersebut, dan salah satu sumber utamanya terletak pada agenda pengembangan karyawan (employee development) yang dilakukan perusahaan. Banyak perusahaan yang hanya sekadar bersandar kepada on the job development alias program pengembangan lewat penugasan pekerjaan. Ini jelas proses pengembangan yang baik, karena menghadirkan pengalaman dan pergulatan langsung atas kondisi pekerjaan yang riil. Dan bagi perusahaan, on the job development juga mendatangkan hasil karya yang nyata, dan terutama tak membutuhkan waktu serta biaya yang besar. Namun pada kenyataannya, para karyawan juga mengharapkan adanya program pengembangan yang lebih formal, seperti pelatihan (training) ataupun pendampingan (coaching). Dalam hal inilah, banyak perusahaan yang tidak melaksanakannya dengan baik dan konsisten, karena kegiatan tersebut membutuhkan investasi waktu dan dana yang besar. Selain mengeluarkan biaya untuk mengongkosi kegiatan pelatihan tersebut, perusahaan juga harus merelakan karyawannya meninggalkan pekerjaannya sementara waktu tatkala sedang ikut program pengembangan. Dan itu berarti hilangnya produktivitas dan kinerja karyawan. Disinilah lingkaran setan itu dimulai. Di satu pihak, perusahaan enggan untuk mengeluarkan investasi yang besar dalam urusan pengembangan karyawan, karena merasa bahwa mereka toh tak akan bertahan lama kerja di perusahaan. Sementara itu, karyawan terdorong untuk meninggalkan perusahaan dan pindah ke tempat lain, karena merasa tak mendapatkan program pengembangan yang memadai. Dalam urusan pengembangan karyawan, ada dua paradigma yang lazim dianut oleh perusahaan. Pertama adalah pola pikir “seeing is believing”, yang berarti perusahaan perlu memastikan bahwa kegiatan pengembangan karyawan memang harus mendatangkan manfaat yang senyata-nyatanya, entah itu dalam rupa peningkatan pengetahuan, keterampilan dan juga perilaku karyawan, yang ujung-ujungnya bermuara kepada peningkatan produktivitas karyawan. Jika produktivitas karyawan sudah meningkat, maka kinerja perusahaan secara keseluruhan juga akan melesat pula. Untuk mengkonfirmasi manfaat nyata tersebut secara bisnis, beberapa perusahaan secara cermat melakukan perhitungan ROI (return on investment) di bidang pengembangan dan pelatihan karyawan. Jika hasil perhitungan ROI bagus, barulah perusahaan menggelontorkan uang dan mengalokasikan waktu untuk kegiatan pelatihan tersebut. Namun, ada pula perusahaan yang menganut paradigma “believing is seeing”. Ini berarti, jika kita memang percaya bahwa kegiatan pengembangan karyawan akan mendatangkan manfaat positif bagi perusahaan, maka manfaat tersebut memang sungguh-sungguh akan menjadi nyata di kemudian hari. William Soeryadjaja, pendiri Astra International, dalam hal ini adalah penganut makzab demikian. Sedari awal, ia dengan ringan tangan mengulurkan investasi yang begitu besar untuk kegiatan pengembangan karyawan di perusahaan yang dilahirkannya tersebut , dari membangun gedung diklat hingga mengirim peserta mengikuti pelatihan, bahkan sampai ke luar negeri. Dan terbukti, keyakinan William Soeryadjaja menjadi kenyataan pada saat ini, dengan hadirnya organisasi Astra yang terus bertumbuh di atas landasan budaya pembelajaran dan pengembangan SDM yang kuat. Sebuah pepatah Cina menyebutkan , “jika anda ingin makmur selama setahun, tanamlah gandum. Jika ingin makmur selama 10 tahun, tanamlah pohon. Namun jika anda ingin makmur selama seabad, kembangkanlah sumber daya manusianya”. Urusan pengembangan SDM memang bukan perkara jangka-pendek, yang hasilnya akan segera kita tuai dalam hitungan menit, jam ataupun hari. Tak ada ceritanya bahwa produktivitas karyawan melonjak kaget, sehari setelah yang bersangkutan mengikuti pelatihan. Karena, peningkatan produktivitas dan kinerja karyawan yang sejati adalah hasil akumulasi proses pembelajaran dan pengembangan yang terjadi secara terus menerus dari waktu ke waktu. So, kalau memang kita ingin membangun organisasi untuk kurun waktu seabad, mengembangkan SDM adalah pilihan yang niscaya. Namun, itu butuh kesabaran, konsistensi dan tentunya juga... believe!

Rabu, 12 Februari 2014

Sustainable Development

Dalam seminggu, saya dihadapkan tiga wacana terpisah, namun rasanya terkait erat satu dengan lainnya. Pertama, halaman depan media masa nasional yang memuat gambar sebagian lahan hutan yang gundul akibat pemanfaatannya sebagai dam tailing (limbah) tambang emas di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Walaupun, perusahaan berjanji akan melakukan reklamasi setelah proyek penambangan usai, pemandangan seperti ini sungguh tak mengenakkan pandangan mata. Kita pasti tahu, masih banyak kawasan hutan yang mengalami deboisasi, entah itu untuk proyek pertambangan, perkebunan dan industrialisasi lainnya. Kedua, satu hari kemudian saya berdiskusi perihal kemacetan lalu lintas Jakarta dengan seorang sahabat yang lama tinggal di Eropa. Kesemrawutan lalu-lintas di ibukota, yang mendatangkan pemborosan dalam berbagai hal : waktu tempuh, bahan bakar dan juga kualitas hidup secara keseluruham, menimbulkan kegelisahan pada sang teman. Ia merasa banyak pihak di Jakarta yang tak peduli dengan urusan yang satu ini, dan saat ini seperti bom-waktu yang dapat meledak setiap saat. Banyak warga penghuni Jakarta (termasuk saya), yang saking terbiasa mengalami kondisi buruk transportasi di ibu kota, perlahan tapi pasti kehilangan sensitivitas terhadap persoalan tersebut. Saya terhenyak dengan pertanyaan lirih sang teman, “pernahkah dibayangkan suatu hari, entah itu di tahun 2013 atau 2014, anda sudah menemukan kemacetan lalu-lintas persis ketika anda keluar dari tempat kediaman anda?”. Sang teman tak sedang bercanda, karena beberapa orang pada jam tertentu, sudah mengalaminya saat ini. Yang ketiga, saat beranjak istirahat malam saya menonton tayangan wawancara di sebuah televisi swasta. Pemandu acara Desy Anwar mewawancarai seorang pria Perancis yang akrab dipanggil Chanee, yang selama 14 tahun berjuang untuk menyelamatkan hewan primata siamang di hutan Kalimantan dan Sumatera lewat yayasan bernama Kalaweit. Seorang anak muda, yang dengan semangat dan idealismenya, meninggalkan tanah kelahirannya Perancis dan mengabdikan hidupnya di masa muda untuk upaya pelestarian primata siamang, makhluk yang ternyata memiliki kemiripan perilaku yang tinggi dengan manusia. Dalam wawancara tersebut, Chanee mengungkapkan keprihatinannya terhadap pengurangan yang terjadi secara signifikan atas keanekaragaman hayati di belantara tropis Indonesia, karena proses deboisasi yang terus terjadi baik secara legal ataupun ilegal. Ketiga wacana yang terjadi secara beruntun dalam minggu yang sama menuntun saya pada pergulatan pemikiran tentang esensi dari “pembangunan” itu sendiri. Bukankah secara hakiki pembangunan berarti adanya peningkatan peradaban, bukan hanya untuk kita yang hidup di masa kini, namun juga untuk generasi yang akan datang. Bahkan seorang tokoh muda Chanee (bernama asli Aurelien Brule) telah mengajarkan kepada saya juga bahwa peradaban tak hanya menyangkut kehidupan manusia, namun juga kehidupan makhluk semesta lainnya yang diciptakan Tuhan dalam keanekaragamannya. Karena pembangunan adalah sebuah kontinum, dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, semestinya pembangunan juga harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Proyek pembangunan saat ini semestinya dibangun di atas landasan yang sudah disiapkan oleh pembangunan sebelumnya, demikian juga pembangunan saat ini seharusnya pula menjadi fondasi bagi pembangunan di masa yang akan datang. Perserikatan Bangsa Bangsa, pada tahun 1987, mengeluarkan sebuah laporan resmi yang dikenal dengan Brundtland Report, yang secara tegas mendefinisikan pembangunan berkesinambungan sebagai “the development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Patut dicatat pula, laporan tersebut juga memberikan penekanan the present generation kepada kelompok miskin, yang seringkali terabaikan dan tak mendapat prioritas perhatian. Maklum saja, pejabat tinggi dan orang kaya yang punya kuasa, tanpa perlu didorongpun, sudah pasti akan memberikan perhatian kepada kerabat dan anaknya yang notabene sudah hidup berkecukupan juga. Namun bila menyangkut orang miskin, mungkin hanya para idealis dan penggiat kemanusiaan yang secara naluriah terpanggil untuk memikirkannya. World Summit 2005 yang diselenggarakan oleh PBB pun telah menghasilkan dokumen tentang sustainable development, yang intinya memperluas dimensi pembangunan ke dalam tiga cakupan, yakni : pembangunan ekonomi (economic), pembangunan sosial (social) dan pembangunan lingkungan (environmental). Keseimbangan di antara ketiga dimensi di atas adalah kata kunci bagi pembangunan yang berkelanjutan. Namun sayangnya, seringkali pembangunan ekonomi berjalan kencang melampaui pembangunan-pembangunan lainnya. Bahkan bukan hanya melampaui, namun juga ikut mengorbankan seperti yang tercermin dalam tiga wacana pembuka di atas. Hutan yang menjadi gundul akibat kegiatan penambangan, kehidupan sosial kemasyarakatan yang sumpek akibat transportasi publik yang semrawut, serta kepunahan keanekaragaman hayati negeri ini secara perlahan-lahan. Pertanyaannya sekarang, siapa yang harus mulai memikirkan dan mengimplementasikan proyek besar sustainable development. Yang paling mudah ditunjuk memang adalah pemerintah, karena pemerintah adalah regulator yang berfungsi untuk mengatur kebijakan dan mengawasi implementasi dari kebijakan tersebut. Namun, bukankah pada kenyataannya pemerintah sudah lama “angkat-tangan” untuk urusan ini, entah alasan keterbatasan aparatus, penetapan prioritas agenda yang berbeda-beda, hingga ketidaktegasan kepemimpinan. Lalu, bagaimana dengan pihak swasta? Kita pasti akan gampang memahami bahwa tugas swasta adalah melakukan bisnis sebaik-baiknya, agar mampu meraup keuntungan yang maksimal. Sepanjang perusahaan bisa mendatangkan keuntungan bagi pemegang saham, membayar pajak kepada pemerintah dan menciptakan lapangan pekerjaan, berarti bereslah sudah amanah dari sebuah perusahaan. Kembali ke cerita sang teman di atas yang lama bermukim di Eropa. Menurut sang teman, apa yang dialami oleh beberapa negara Eropa yang beringsut bangkrut saat ini (Yunani, Spanyol, Italia dan Portugal) adalah sebuah contoh betapa pembangunan yang tidak ditata secara berkesinambungan, pada akhirnya menghantam balik negara tersebut. Bukan hanya menghantam kepada pemerintahnya saja, namun juga perusahaan-perusahaan dan segenap warga negara yang ada di dalamnya. Sulit bagi kita membayangkan negara-negara Eropa di atas, yang hingga satu dasawarsa yang lalu, masih dikenal sebagai negara maju dengan peradaban yang modern, bisa terbelit krisis yang hingga kini tak pernah diketahui proyeksi pemulihannya. Bagi sang teman, pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar di Eropa memiliki kontribusi kesalahan yang sama. Indonesia digadang-gadang sebagai salah-satu negara maju dunia dalam kurun waktu sepuluh dan lima-belas tahun ke depan. Semoga kesadaran “sustainable development” tertanam kuat di benak kita semua. Ya pemerintah, perusahaan, media massa dan juga komunitas berpengaruh lainnya. --------


Kamis, 23 Januari 2014

Perusahaan Kelas Dunia

Kita pasti pernah mendengar jargon “world class company” alias perusahaan kelas dunia. Hampir dapat dipastikan juga, bahwa semua pelaku usaha menginginkan agar perusahaannya bisa menjadi perusahaan kelas dunia. Namun, apa sesungguhnya perusahaan kelas dunia itu? Boleh jadi semua orang membicarakan istilah yang sama dan juga mempunyai cita-cita yang sama – yakni perusahaan kelas dunia -, namun dengan pengertian yang berbeda-beda. Memang, wacana “world class company” dalam kajian manajemen adalah salah satu wacana yang paling ambigu alias tak terdefinisi secara mutlak. Silahkan anda masuk ke piranti penelusuran Google dan mencari makna kata tersebut, niscaya anda akan menemukan definisi yang begitu beragam. Jika ditanyakan mana di antara definisi-definisi tersebut yang benar adanya, toh kita tak bisa menjawabnya secara pasti. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Salah satu pakar yang merumuskan pengertian World Class Company secara komprehensif adalah Rosabeth Moss Kanter, guru besar bidang strategi bisnis dari Harvard Business School. Dalam bukunya, World Class : Thriving Locally in The Global Economy (1997), Kanter merumuskan minimal ada dua kualifikasi yang harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan kelas dunia. Pertama, operasi atau proses bisnis perusahaan tersebut harus mampu menghasilkan standar produk dan layanan yang paling tinggi, yang mampu bersaing dengan produk dan layanan di belahan dunia manapun. Kedua, manusia di dalam organisasi tersebut juga memiliki kualifikasi yang hebat, yang mampu bekerja dan beroperasi secara lintas teritori atau di manapun berada. Kanter juga menyebut perusahaan-perusahaan kelas dunia yang mampu beroperasi dengan dua kualifikasi di atas sebagai ‘warga korporasi kosmopolitan”. Istilah kosmopolitan ini mengacu kepada warga yang mampu eksis di belahan kosmos manapun; yang sanggup tinggal di benua apapun, berbicara dalam beberapa bahasa, dan beradaptasi dengan beragam budaya. Sebagai terjemahan dari dua kualifikasi perusahaan kelas dunia di atas, warga korporasi kosmopolitan ini umumnya memiliki 3 C, yakni : (1) konsep (concepts) bisnis yang maju dan mutakhir, (2) kompetensi (competence) SDM yang hebat, dan (3) koneksi (connections) perdagangan yang luas di berbagai penjuru dunia.
Jika ditelusuri lebih lanjut, kriteria perusahaan kelas dunia yang disampaikan oleh Kanter pun tidak dirumuskan secara konkret dan kuantitatif. Tak ada batasan seberapa banyak dan mutakhir konsep bisnis yang harus diterapkan oleh sebuah perusahaan kelas dunia. Juga tak ada pengukuran kuantitatif tentang derajat kompetensi SDM yang harus dimiliki perusahaan kelas dunia. Demikian halnya pula, tak ada rumusan eksak tentang jumlah mitra bisnis manca negara yang harus dipunyai perusahaan kelas dunia. Yang lebih menarik, bagi Kanter, perusahaan kelas dunia tak harus selalu perusahaan yang memiliki wilayah operasi di berbagai negara, yang juga kita kenal sebagai global-company. Perusahaan yang hanya beroperasi secara lokal atau regional pun (local and regional companies) bisa meraih predikat perusahaan kelas dunia. Ini berarti, rumusan kelas dunia tidaklah ditentukan oleh cakupan wilayah operasi bisnis, namun terutama oleh kualitas SDM yang dimiliki, proses bisnis yang dijalankan , serta produk dan layanan yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Guru saya mempunyai rumusan tentang perusahaan kelas dunia yang sangat ringkas, namun menarik. Katanya, “perusahaan kelas dunia adalah perusahaan yang secara sungguh-sungguh strive for the best alias berjuang untuk meraih yang terbaik”. Kelihatannya rumusan ini sederhana, namun sungguh ini bukan rumusan yang tanpa makna. Mari kita lihat contoh dunia olah-raga, yang dianggap sebagai salah satu bidang kehidupan yang paling kompetitif. Pemecahan rekor dengan cepat terjadi seiringnya dengan bergantinya waktu. Kadang pemecahan rekor terjadi bukan dalam hitungan tahun, namun dalam hitungan bulan, bahkan hari. Demikian juga, tim yang tahun ini menjadi juara, bisa jadi tak mendapatkan apa-apa di tahun berikutnya. Hal ini bisa terjadi, karena selain sikap sportivitas, hakekat dari olah-raga yang sesungguhnya adalah kompetisi. Dan, bukankah kompetisi juga merupakan hakekat dasar dari operasi bisnis pada masa kini? Di dunia olah-raga sepak-bola, kita mengenal tim-tim seperti Barcelona, Real Madrid, Manchester United, AC Milan, yang tanpa perdebatan panjang lebar diamini publik sebagai tim sepakbola kelas dunia, padahal tim-tim tersebut hanya eksis di Spanyol, Inggris serta Italia, dan tak membuka cabang ataupun tempat pelatihan di manca negara. Demikian pula, pelatih seperti Sir Alex Ferguson, Pep Guardiola, Carlos Ancelloti, tanpa pertentangan pandangan, juga diakui publik sebagai pelatih kelas dunia, padahal mereka tak punya banyak pengalaman melatih di banyak tim, apalagi tim lintas negara. Bukankah menjadi jelas, bahwa menjadi entitas kelas dunia (entah itu pelatih dan tim olah-raga, serta juga organisasi perusahaan) bukanlah perkara cakupan teritori dan operasi lintas negara, namun terutama adalah spirit strive for the best yang ditunjukkan. Karakteristik strive for the best-lah, yang membuat publik secara serentak mengakui Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Sir Alex Ferguson dan Pep Guardiola adalah entitas-entitas kelas dunia. Akhirul kalam, apakah strive for the best sudah menjadi bagian dari budaya organisasi kita? Karena, semangat itulah yang menjadi jembatan kultural bagi sebuah perusahaan untuk beranjak menjadi perusahaan kelas dunia.

Senin, 13 Januari 2014

Auto-pilot atau Primus Inter Pares

Belakangan ini kita sering mendengar tentang wacana “negeri auto-pilot”. Kalangan yang tidak puas dengan jajaran pemerintah merasa bahwa negara (pemerintah dan perangkat negara lainnya) seolah-olah tak eksis ketika keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat. Rakyat butuh keamanan, namun kenyataannya aparat tak berada di tempat untuk menjalankan fungsinya. Rakyat butuh kepastian aturan-main, namun ternyata pemerintah tak menentukan sikap dan regulasi. Rakyat mengharapkan perbaikan nasib secara mikro, namun angka indikator ekonomi yang manis hanya berhenti secara makro. Dengan demikian, jika diibaratkan sebuah pesawat terbang, negara ini seperti pesawat yang terbang sendiri tanpa kendali seorang pilot. Negara ini seolah-olah bisa bergerak sendiri, dan tak membutuhkan kehadiran sosok pemimpin sebagai pilot. Mengenaskan? Nanti dulu... Kepercayaan dan harapan yang semakin pudar terhadap peran seorang pemimpin ternyata tak hanya terjadi di negara ini. Andrea Ovans, editor majalah Harvard Business Review dalam artikelnya bertajuk When No One’s In Charge (HBR, May 2012) menegaskan bahwa situasi yang sama ternyata menyeruak di banyak negara. Di Amerika Serikat, kepercayaan terhadap konggres semakin hari juga semakin menurun. Presiden yang dianggap sebagai pembaharu seperti Barrack Obama pun saat ini berjuang keras untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari publik Paman Sam. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Eropa, bahkan beberapa pemimpin di benua biru tersebut harus turun panggung akibat tak dipercaya lagi oleh rakyatnya. Kondisi di beberapa negara Timur Tengah bahkan lebih buruk lagi. Survey yang dilakukan terhadap dunia korporasi ternyata sama saja. Di Amerika, hanya 45% publik yang menaruh rasa percaya kepada eksekutif-eksekutif perusahaan-perusahaan besar, dan itu pun mereka percaya secara moderat saja. Selebihnya, mereka lebih bersikap apatis atau juga penuh curiga. Ketidakpuasan terhadap figur pemimpin memang meruyak ke pelbagai belahan dunia, dan juga beragam ranah kehidupan. Dari Asia hingga Amerika, dan dari ranah politik sampai dunia korporasi. Alih-alih berpaling mencari sosok pemimpin baru, mereka justru lebih tertarik untuk melakukan gerakan tanpa pemimpin (leaderless movement), seperti yang terjadi pada fenomena gerakan “Occupy Wall Street” dan “Tea Party” di Amerika, serta “Arab Spring” di Timur Tengah. Gerakan-gerakan seperti itu ingin menunjukkan bahwa kerumunan masa tanpa pemimpin dapat menciptakan kekuatan dan pengaruh yang tak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan sosok individual yang diamanahkan sebagai pemimpin. Bahkan profesor Barbara Kellerman dari Harvard University memberi judul buku barunya The End of Leadership (2012), yang ingin menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran titik kepemimpinan, dari yang bertumpu kepada satu atau segelintir orang di tampuk kekuasaan menuju kepada banyak orang di jajaran masyarakat biasa. Kellerman menunjukkan konsisten pergeseran titik berat kepemimpinan tersebut dari waktu ke waktu, yang dimulai dari sejarah kepemimpinan para dewa-dewi Yunani dan Romawi kuno yang digdaya, menuju pemimpin-pemimpin religius semisal Abraham dan Buddha, selanjutnya menuju para raja-raja yang juga filosof ternama, kemudian menuju pemimpin monarki konstitusional, dan selanjutnya menuju para anggota dewan perwakilan terpilih yang memimpin dengan persetujuan rakyat yang semakin hari semakin membesar. Bagi Kellerman, pola pergeseran tersebut begitu konsisten, yakni titik kekuasaan yang semakin menyebar kepada banyak orang, dan tak bertumpu kepada satu atau segelintir penguasa saja. Menjadi sebuah pertanyaan, apakah kita pada akhirnya bergerak ke arah yang ekstrim, saat praksis kepemimpinan tak lagi dibutuhkan dan akan berujung kepada “the end of leadership”? Menarik apa yang disimpulkan oleh Ovans dalam tulisannya di atas, bahwa pada akhirnya kepemimpinan tak akan pernah berujung, karena itu bagian dari peradaban manusia. Skeptisisme terhadap kepemimpinan sesungguhnya tertuju kepada kepemimpinan yang buruk, bukan kepada kepemimpinan secara keseluruhan. Bagaimanapun, sepanjang peradaban manusia bergulir, sepanjang itu pula kepemimpinan dibutuhkan. Solusi terhadap kepemimpinan yang buruk (bad-leadership) bukanlah menghapuskan praksis kepemimpinan itu sendiri (no leadership). Merumuskan paradigma kepemimpinan yang seiring dengan perkembangan zamannya, itulah tantangan para pemimpin yang paling nyata saat ini. Bagi saya, pilkada DKI yang baru berlangsung tanggal 11 Juli 2012 meninggalkan permenungan yang menarik. Hasil pilkada putaran pertama yang menempatkan Jokowi-Ahok sebagai peraih suara tertinggi, telah menjungkir-balikkan hasil survey awal yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey yang menempatkan calon petahana (incumbent) dalam posisi pertama. Dengan seragam kotak-kotaknya, Jokowi-Ahok menyambangi warga-warga Jakarta, berbicara, berjalan dan mendengarkan langsung kepada mereka, seolah-olah tak ada jarak dan perbedaan status antar mereka. Mereka mengenakan pakaian yang sama dengan warganya, bertutur kata dengan bahasa yang sama dengan warganya, serta menikmati makanan dan minuman yang sama dengan warganya. Secara pribadi, saya berharap “egalitarianisme” yang ditunjukkan oleh pasangan tersebut memang sungguh-sungguh merupakan sikap dan kebiasaan keseharian mereka, bukan sekadar pencitraan sesaat yang dilakukan dalam rangka meraup simpati warga sepanjang kampanye pilkada. Guru saya pernah berkata, sejatinya seorang pemimpin tak lebih dari sekadar primus inter pares atau first among equals. Pemimpin adalah makhluk yang sama dengan orang-orang yang dipimpinnya, dan oleh karenanya mempunyai derajat kemanusiaan yang sama pula. Pemimpin bukanlah makhluk manusia setengah-dewa, yang membuat mereka seakan-akan berbeda “alam dan hakikat” dengan manusia-manusia yang dipimpinnya. Pemimpin juga bukan “superman”, yang membuat mereka merasa mempunyai hak untuk berperilaku super (utamanya super berkuasa) atas manusia-manusia yang dipimpinnya. Sebagai primus inter pares, pemimpin adalah sosok yang sama dan sederajat (equal) dengan makhluk-makhluk yang dipimpinnya. Hanya saja, mereka diberi kesempatan untuk berjalan di urutan yang pertama, agar bisa menuntun orang-orang di belakangnya. Tak lebih tak kurang, itu saja

Minggu, 22 Desember 2013

Ular Tangga

Pertama kali menggeluti bidang pengembangan Sumber Daya Manusia, saya diberi petuah oleh seorang senior yang saya ingat dan hayati hingga saat ini. Kata sang senior, “mengembangkan seseorang itu ibarat bermain ular tangga”. Permainan anak-anak yang satu ini tak hanya mengajarkan kita bagaimana caranya mendaki tangga ke pencapaian yang lebih tinggi, namun sekaligus juga mengingatkan kita untuk siap menerima kenyataan di gigit ular dan melorot ke bawah lagi. Sama halnya juga, mengembangkan orang tak melulu berarti mendorong seseorang untuk meraih kesuksesan dan pencapaian yang lebih tinggi, namun juga menyiapkan yang bersangkutan untuk menerima dan menghadapi kegagalan. Buat saya, ini sebuah pesan yang sangat menarik. Karena, secara alamiah manusia lebih siap (bahkan sangat siap) untuk menyambut kesuksesan, namun sebaliknya gampang terkapar berhadapan dengan kegagalan. Orang berharap untuk menemukan “papan permainan kehidupan” yang hanya diisi oleh tangga-tangga pendakian, dan kalau bisa tak ada gigitan ular yang menyeret ke bawah. Orang ingin menikmati kesuksesan secara instan, cepat dan tanpa proses yang berliku. Masyarakat modern yang cenderung pragmatis, serba-menggampangkan dan melulu result-oriented, seringkali menghilangkan kesempatan seseorang untuk menjalani proses sebagaimana mestinya. Orang tak sabar untuk berproses, dan akibatnya tak terlatih untuk menerima dan menghadapi kenyataan kegagalan yang pahit. Anda mungkin masygul dengan asumsi ini? Mari, sesekali perhatikanlah anak-anak kecil yang sedang bermain video-game yang bersifat kompetitif, di mana anak harus memainkan tokoh (kelompok) yang bersaing atau bertarung dengan tokoh (kelompok) lainnya. Pengamatan saya menunjukkan, jika si anak dalam posisi “menang”, dengan riang gembira dia akan meneruskan permainannya hingga akhir. Namun, apa yang terjadi jika dia berada dalam posisi “kalah”? Alih-alih berjuang untuk mencari siasat dan cara mengatasi kekalahannya, yang dilakukan adalah “me-reset” game yang sedang dimainkannya tersebut ke tombol start lagi. Bagi sang anak, ini cara yang paling cepat dan instan untuk menghindar dari kekalahan alias kegagalan. Anak tidak melatih dirinya untuk menerima, apalagi berhadapan dengan kegagalan. Padahal, kita semua tahu tak ada hidup yang tak dihiasi kegagalan. Yang terjadi, kesuksesan justru acapkali dibangun di atas kegagalan, kesusahan, bahkan kadangkala penderitaan. Yang paling penting, seperti judul lagu band remaja d’Massive : “jangan menyerah!”. Mantan CEO General Electric yang paling legendaris, Jack Welch, pernah berujar “You’ve made a bad deal. The plant’s blown up. Marriages don’t work out. A variety of things don’t work. Keep going’ anyway!”. Guru saya sering berujar, kalau jatuh 10 kali, kita harus bangun 11 kali. Dengan bangkit kembali, kita tak memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk terpuruk semakin dalam. Tak perlu heran, sosok sekelas genius Steve Jobs pun bahkan pernah mengalami nasib yang jauh lebih tragis. Ia sempat ditendang keluar dari perusahaan Apple yang ia dirikan sendiri di garasi rumahnya. Bisa dibayangkan, betapa nelangsanya situasi seperti itu! Namun, apa yang terjadi? Ia memang sempat membesarkan bisnisnya yang lain, namun passion-nya terhadap Apple tak pernah padam. Ketika ia come-back memimpin Apple lagi, ia bahkan membawa semangat dan passion yang jauh lebih besar. “Orang-orang dengan passion besar bisa mengubah dunia menjadi jauh lebih baik”, demikian petuah Jobs. Kelak kitapun mengetahui bahwa ia tetap bersemangat memimpin Apple walau kondisi tubuhnya digerogoti penyakit kanker pankreas. Jobs baru benar-benar turun panggung saat tubuhnya tak sanggup lagi menopang derita penyakitnya, sebelum akhirnya meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 2011. Jobs membuktikan, sekalipun pernah kecewa didepak keluar dari perusahaan yang dirintisnya sendiri, toh ia mampu tampil kembali membawa Apple menjadi perusahaan teknologi komunikasi yang terkemuka di dunia. Bahkan, di tangan Jobs lah, nilai kapitalisasi pasar Apple menembus angka spektakuler US $ 350 milyar. Permainan ular-tangga mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan manusia tak melulu diisi dengan tangga kesuksesan, namun juga sarat dengan ular kegagalan. Hidup yang dihiasi dengan kesuksesan belaka, sangat mungkin mengantar orang pada sikap jumawa. Sebaliknya hidup yang dipenuhi dengan kegagalan, akan membuat orang menjadi putus asa. Justru kombinasi antara kesuksesan dan kegagalan lah yang membuat orang menjadi semakin bijaksana. “Kita hanya bisa menghargai hangatnya sinar matahari, jika pernah basah kuyup kehujanan”, demikian pesan yang disampaikan oleh guru saya. Inventor akbar sekelas Thomas Alva Edison, ternyata juga harus beribu kali menerima kenyataan eksperimen yang gagal, sebelum ia pada akhirnya berhasil menemukan lampu pijarnya yang fenomenal. Terhadap pengalaman kegagalannya ini, ia hanya berujar : I have not failed. I've just found 10,000 ways that won't work”. Jadi, ada benarnya jika kita mendengar ungkapan klise, “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”. Kegagalan bukan untuk diingkari dan dijauhi, namun justru untuk dipelajari dan dimaknai sebagai bagian dari perjalanan menuju kesuksesan baru.