Selasa, 24 September 2013

Pilih Mana : Sukses atau Bahagia?

Seorang rekan, yang duduk di sebelah saya di dalam mobil yang sama, menantang dengan pertanyaan yang sama sekali tak saya duga. Melewati kolong sebuah jalan layang di Jakarta, sang teman berujar : “Gua tantang elu untuk tidur di bawah kolong seperti orang itu”, katanya sambil menunjuk seorang gelandangan yang tergeletak nyenyak di tengah kebisingan lalu-lintas. Tanpa menunggu jawaban saya, sang teman melanjutkan “Gua pastikan, dikasih kesempatan belajar selama seminggupun, kamu nggak akan bisa tidur pulas di tempat begituan”. Dalam hati saya mengamini apa yang dia katakan. Belum sempat saya angkat bicara, sang teman itupun terus melanjutkan, “Bisa jadi kita memang lebih sukses dibandingkan orang tersebut. Tapi, jangan-jangan dia jauh lebih bahagia dibandingkan kita. Kalau dia tak bahagia, mana mungkin dia bisa terbang ke langit tujuh, tak terganggu sama suara mobil-motor dan tiupan angin disertai debu”, ujar sang teman dengan mimik serius. Dale Carnegie berkata bahwa “succes is having what you want; happiness is wanting what you have”. Bisa saja kesuksesan berjalan seiring dengan kebahagiaan, namun kenyataannya tak selalu demikian. Kesuksesan merujuk kepada pencapaian, sementara kebahagiaan ada di pikiran dan hati kita. Ada orang yang memiliki pencapaian yang luar biasa, namun pikirannya sumuk dan hatinya gelisah. Sebaliknya ada orang yang tak banyak mengukir prestasi tinggi, namun pikirannya tenang dan perasaannya penuh ceria. Contohnya? Ya, gelandangan yang tidur pulas di bawah kolong jalan layang di atas. Lebih jauh, kebahagiaan juga tidak terkait dengan berlimpah ataupun minimnya harta. Guru Cheng Yen, rahib Buddha pendiri komunitas kemanusiaan Tsu Chi, dalam buku Still Thoughts, vol.1 (2009), mengatakan bahwa semua orang mempunyai masalah. Mereka yang kaya dan berkuasa takut kehilangan apa yang mereka punyai, sementara mereka yang miskin dan lemah pusing setengah mati memikirkan cara memperoleh apa yang mereka tak punyai. Dengan demikian, persoalan muncul bukan karena kondisi kekayaan dan kemiskinan seseorang, tapi terutama karena adanya kecemasan yang muncul di benaknya. Persis seperti apa yang ditulis oleh John Milton dalam buku ternama Paradise Lost, “ The mind is its own place, and in itself...can make a heaven out of hell or a hell out of heaven”. Pikiran manusia memiliki dunianya sendiri, dan kondisi di dalamnya bisa membuat neraka terasa surga ataupun sebaliknya. Pengalaman Larry King - pembawa acara talk-show terkenal dari CNN – di bawah ini bisa menjelaskan ternyata kesuksesan dan kebahagiaan tak berhubungan secara langsung. Pada tahun 1972, King jatuh miskin karena mendadak menganggur setelah dilepas oleh stasiun radio tempatnya bekerja. Kondisi ini jelas membuatnya lemas karena tagihan sewa apartemen dan tunjangan anak yang diasuh mantan istrinya sudah di depan mata. Lucunya, sekalipun ia bokek, King masih tak bisa meninggalkan hobi utamanya berjudi di pacuan kuda. Maka, suatu hari dengan sisa uang yang hanya 48 dolar ia datang ke arena pacuan. Di sana ia melihat seekor kuda betina bernama Lady Forli yang dipertaruhkan 70 lawan 1. Ia memasang taruhan 10 dolar. Semakin lama melihat, ia semakin jatuh hati kepada Lady Forli sehingga memutuskan bertaruh exacta, atau di atas dan di bawah semua kuda yang lain. Ia juga bertaruh trifecta atau tiga kuda urutan teratas berdasarkan tanggal lahirnya. Dan hari itu, secara luar biasa semua pilihannya jitu dan King menang 11 ribu dolar. Ia kesulitan membawa uang hadiahnya karena jaketnya tak bersaku. Ia memberi tip kepada petugas valet 50 dolar sehingga si petugas nyaris pingsan. Sewa apartemen dan tunjangan anaknya ia lunasi sekaligus untuk setahun. King selalu mengenang hari itu sebagai hari terbaik dan paling membahagiakan dalam hidupnya. Bagi King, kebahagiaan tertingginya adalah saat mendapatkan uang di tengah kondisi yang sangat membutuhkan. Pada tahun-tahun berikutnya, King yang sudah sangat terkenal bisa dengan mudah mendapatkan 11 ribu dolar bahkan lebih, baik sebagai pembaca acara ataupun di arena pacuan kuda. Namun, tak ada yang bisa mengalahkan pengalaman hari itu sebagai momen yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Saya pernah bertanya kepada beberapa rekan, mana yang akan mereka dahulukan, apakah menjadi sukses atau bahagia? Umumnya, mereka dengan fasih menjawab untuk mengutamakan kebahagiaan di atas kesuksesan. Namun pada saat yang bersamaan mereka juga mengakui bahwa secara tak sadar, perilaku keseharian menuntun mereka untuk mengejar kesuksesan, sembari membiarkan diri dihujani oleh berbagai persoalan, tekanan dan ketidaknyamanan hidup. Jika sudah demikian, bukankah apa yang dipikirkan tak selaras dengan apa yang dijalankan? Menarik apa yang dikatakan oleh Buddha bahwa “success is not the key to happiness, but happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful”. Banyak orang sukses, yang berhasil meraih begitu banyak pencapaian dan mendapatkan tepuk tangan banyak orang, namun justru hatinya merasa tak bahagia. Benarlah petuah para guru kebajikan bahwa kebahagiaan seseorang sangatlah bersifat personal. Ketika pikiran begitu positif dan nuansa hati begitu gembira, itulah saatnya seseorang merasakan kebahagiaan. Dan, itu tak ada hubungannya dengan gegap gempita tepuk tangan orang kepada kita. Apa yang diajarkan Buddha pun juga nyata adanya bahwa kebahagiaan adalah kunci keberhasilan kita. Mengapa? Karena hanya orang yang pikirannya positif dan hatinya gembira, yang dapat bekerja dengan keterlibatan yang sepenuh-penuhnya. Keterlibatan yang penuh ini, itulah yang disebut oleh pemikir manajemen masa kini sebagai “engagement”, yang diyakini sebagai kuncil keberhasilan pekerjaan.

Selasa, 17 September 2013

Anjing atau Srigala?


Seorang rekan yang bekerja di salah satu BUMN mengatakan kepada saya, “Menteri BUMN yang sekarang (yakni Pak Dahlan Iskan) mempunyai gaya yang sama sekali berbeda dengan pendahulu-pendahulunya! Lepas dari apa yang dilakukannya itu benar atau salah, baik atau tidak, yang jelas Pak Dahlan menunjukkan pola kepemimpinan yang fresh, bahkan cenderung unik di mata orang-orang yang terbiasa bekerja di lingkungan birokrasi”. Dalam hati saya berpikir, jangankan “orang dalam”, publik luas-pun bisa menyaksikan secara langsung gebrakan-gebrakan unik yang dilakukan sang menteri. Salah-satu yang paling diingat baik tentunya adalah kemarahan sang Menteri di pintu masuk tol yang dijejali antrian mobil yang panjang, yang membuatnya turun langsung mengatur lalu-lintas dan membebaskan antrian mobil masuk ke jalan tol tanpa membayar. Dahlan berkilah “Orang mau membayar (memberi uang kepada kita) koq harus dipersulit dan mengantri panjang!”. Untuk orang-orang yang bergelut di dunia bisnis dan lingkungan swasta, apa yang dikatakan Dahlan sangatlah mudah dipahami. Bukankah kita sering mendengar jargon “Konsumen adalah raja”, artinya konsumen harus diperlakukan secara baik dengan layanan yang sempurna. Dalam konteks pengelolaan jalan tol, bukankah para pengendara mobil itu adalah konsumen? Dan oleh karenanya, mengapa mereka harus dipersulit dan dibuat tak nyaman dengan antrian yang panjang? Baru baru ini saya membaca wawancara majalah Harvard Business Review (edisi April 2012) dengan Jin Zhiguo, pimpinan dari perusahaan bir Tsingtao kepunyaan pemerintah Cina. Zhiguo yang diangkat menjadi presiden direktur Tsingtao sejak 2001, berhasil membuat perusahaan bir tersebut meraih angka pendapatan dan laba yang semakin mendaki setiap tahunnya. Yang tak kalah pentingnya, ia berhasil melakukan transformasi budaya pada perusahaan yang semula memiliki watak “pelat merah” yang kuat menjadi perusahaan yang berorientasi kepada pasar dan konsumen. Perusahaan yang dulunya diurus semata-mata sebagai sebuah organisasi birokrasi, didorong untuk aktif berkompetisi. Ikhtiar transformasi Zhiguo dimulai pada tahun 1995, saat ia ditunjuk sebagai pimpinan sebuah anak usaha Tsingtao, yakni pabrik bir Hans Brewery di Xi’an. Hari pertama menjejakkan langkah di kantornya yang baru, ia melihat laporan keuangan tergeletak di meja kerjanya, dan di dalamnya tertulis “Produksi per hari : 1.000”. Semula Zhiguo berpikir bahwa angka itu berarti 1.000 krat (keranjang bir), yang artinya tidak terlalu buruk. Namun, setelah berbicara dengan karyawannya, ia baru mengerti ternyata yang dimaksud adalah 1.000 botol. Zhiguo kaget bukan kepalang, bagaimana perusahaan yang jumlah karyawannya lebih dari 1.000 hanya mampu memproduksi 1.000 botol bir per hari! Artinya, secara rata-rata, setiap karyawan memproduksi kurang dari satu botol bir setiap harinya. Namun, mau dipercaya atau tidak, demikianlah kenyataan yang ada. Di lingkungan perusahaan milik negara, kondisi wanprestasi tersebut memang bukan hal yang aneh. Pemerintah lah yang menetapkan rencana produksi, dan tak ada orang yang secara serius memedulikan kebutuhan konsumen dan daya serap pasar. Pengukuran-pengukuran kinerja bisnis semisal manajemen biaya, produktivitas dan efisiensi praktis tak berjalan dengan baik. Juga tak ada mekanisme untuk menyerap aspirasi pasar, sehingga perusahaan tak pernah benar-benar apa yang menjadi kebutuhan konsumen. Tak ada pilihan bagi Zhiguo, kecuali menempuh transformasi radikal, jika operasi bisnisnya tak ingin dilibas oleh perusahaan-perusahaan bir asing (khususnya dari Eropa) yang semakin hari semakin akrab di telinga dan lidah masyarakat Cina. Yang paling menantang, namun sekaligus penting bagi Zhiguo, adalah melakukan transformasi pola pikir dan mentalias segenap karyawannya. Yakni, berubah dari mentalitas untuk “menyenangkan atasan” menjadi “mengutamakan pelanggan”. Zhiguo menyadari, pada banyak perusahaan milik negara, kesuksesan seseorang seringkali ditentukan oleh seberapa mampu yang bersangkutan menyenangkan atasannya, bukan seberapa baik dia mengerti dan melayani pelanggannya. Akibatnya, perusahaan menjadi tak produktif dalam melahirkan kinerja, dan justru terjebak dalam hiruk-pikuk politik kantoran. Era Deng Xiao Ping yang menggeser kebijakan ekonomi, dari “ekonomi terencana” (planned economy) menjadi “ekonomi pasar” (market economy), menuntut penyesuaian mentalitas perusahaan pemerintah juga. Pada era ekonomi-terencana, perusahaan milik negara layaknya seperti seekor anjing. Pemerintah adalah pemilik anjing tersebut, yang menentukan jenis dan jumlah pakan yang akan ditelan oleh si anjing. Laksana anjing, tugas perusahaan hanyalah mengawasi aset-aset milik pemerintah tersebut, dan berharap untuk mendapatkan makanan enak jika bisa mematuhi perintah majikan. Sementara, di era ekonomi-pasar, perusahaan-perusahaan tersebut harus bertarung untuk mendapatkan makanan, layaknya seekor serigala. Serigala bertahan hidup lewat persaingan yang ganas, bertarung dengan sesama serigala dan binatang buas lainnya. Hanya mereka yang memenangkan pertarungan yang akan bertahan hidup dan mendapatkan penghormatan dari pesaing lainnya. Di negara kita, Indonesia, Dahlan Iskan telah menampilkan gaya kepemimpinan yang baru dalam institusi badan usaha milik negara. Namun sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Dahlan adalah sebuah keniscayaan bagi sebuah “badan usaha”, yang memang ditakdirkan sebagai “serigala” yang musti bertarung keras untuk memenangkan persaingan. Namun, kalau yang diutamakan adalah wacana “milik negara”nya (bukan “badan usaha”nya), jangan heran jika yang dilakukan oleh Dahlan dianggap aneh sekaligus lebay. Institusi BUMN bisa memilih, apakah menjadi anjing atau serigala?

Selasa, 10 September 2013

Negarawan dan Politisi (Mengenang Widjajono Partowidagdo)

Beberapa saat setelah artikel ini ditulis, seperti disambar geledek di siang bolong, publik mendapat berita bahwa Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo, meninggal dunia pada tanggal saat sedang mendaki gunung Tambora. Ya, bertepatan dengan hari Kartini, 21 April 2012, pejabat yang cerdas, dedikatif dan tulus ini menghadap Sang Pencipta. Saya tak ragu untuk mendedikasikan tulisan yang sudah saya siapkan ini sebagai kenangan dan penghargaan (tribute) kepada beliau, orang yang sangat ngotot memperjuangkan kebijakan energi yang baru di Indonesia, semata-mata demi keselamatan dan kemaslahatan generasi yang akan datang. Semua orang yang bergerak di bidang change-management sepakat bahwa satu-satunya hal yang pasti (dan tidak berubah) adalah perubahan itu sendiri. Perubahan, sesuai dengan hakekatnya, cenderung mendatangkan ketidakpastian. Atas alasan itulah, manusia secara naluriah tidak menyukai perubahan. Sesungguhnya bukan perubahan itu yang dihindari manusia, melainkan ketidakpastian yang ditimbulkan olehnya. Manusia butuh kepastian, supaya bisa menyusun rencana dan menata langkah hidupnya, dan pada akhirnya bisa mewujudkan cita-cita yang ditetapkan. Kebijakan pemerintah atas bahan bakar minyak bersubsidi belakangan ini telah menimbulkan ketidakpastian pula. Publik seperti sedang menghitung jerit tokek, antara dinaikkan atau tidak. Belum selesai urusan menaikkan harga BBM bersubsidi, muncul wacana untuk melahirkan BBM hibrida premix dengan mencampurkan premium dan pertamax Dan, yang terkini tentunya rencana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi, yang akan dikenakan pada tipe kendaraan tertentu. Publikpun mulai menebak suara tokek lagi, apa yang menjadi dasar pemberlakuan kebijakan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi. Apakah ukuran cc mobil, warna pelat kendaraan, atau daerah distribusi. Entahlah..., mari kita menunggu saja. Baru-baru ini, Laksamana Michael Mullen, mantan Kepala Staff Gabungan Amerika, ditanyai : “apa ancaman paling serius terhadap keamanan nasional Amerika?”. Di luar dugaan, ternyata sang Laksamana tak menjawabnya dengan hal-hal yang berbau militer, seperti ancaman terorisme internasional, senjata nuklir Iran ataupun Korea Utara, dan juga potensi konflik domestik menjelang pemilu presiden pada november 2012. “Defisit anggaran!”, itulah jawaban yang keluar dari mulutnya. Defisit anggaran akan menyedot setiap dolar yang dimiliki bangsa tersebut, dan bisa mengakibatkan negara Paman Sam tersebut kehilangan daya-saingnya. Erskine Bowles, mantan Kepala Staf Gedung Putih Amerika, dalam tulisannya bertajuk The Danger of Doing Nothing (HBR, March 2012) menegaskan bahwa persoalan defisit anggaran di atas bukanlah persoalan Mullen pribadi. Publik yang memerlukan pendidikan yang baik, penelitian yang lebih berbobot serta pembangunan jalan, jembatan dan pelabuhan yang baru, praktis menyerukan hal yang sama. Masalahnya, bagi Bowles, pemerintahan Washington tak cukup mantap mengambil langkah serius untuk mengatasi persoalan tersebut. Mengapa? Karena sekali keputusan itu diambil, mau tak mau harus ada pengorbanan bersama yang ditanggung. Pengorbanan itu tak terelakkan, karena memang bagian dari upaya investasi untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik. Lebih jauh, bagi Bowles, komunitas bisnis juga bertanggung-jawab atas sikap pemerintah yang “tak melakukan apa-apa ini”. Dunia bisnis, sebagai salah satu komunitas madani yang kuat, praktis tak melakukan langkah berarti untuk mendorong pemerintah mengambil langkah nyata untuk membereskan persoalan defisit anggaran. Dan, sikap pasif komunitas bisnis dapat ditafsirkan sebagai persetujuan tak langsung terhadap sikap pemerintah yang tak berbuat nyata. “If we in the business community allow members of Congress to think that doing nothing is OK, then that’s exactly what they’ll do”, katanya. Pada dasarnya, tidak mengambil keputusan adalah sebuah keputusan juga. Not to decide is to decide. Mahatma Gandhi pernah bertutur, “you may never know what results come of your action, but if you do nothing, there will be no result”. Kita memang tak pernah bisa memastikan hasil dari sebuah keputusan yang kita ambil, bisa jadi hasilnya membawa keadaan semakin baik, atau malah menggiring keadaan semakin buruk. Namun kita bisa memastikan, jika tak ada keputusan yang diambil, maka tak akan adapula hasil yang bisa raih. Sebaik-baiknya tak mengambil keputusan, toh akan lebih baik jika kita mengambil keputusan. Mengapa? Jika keadaan menjadi lebih baik akibat keputusan yang diambil, kita pantas untuk bergembira karena demikianlah mustinya harapan kita. Namun jika keadaan justru lebih buruk, toh itu berarti ada kesempatan bagi kita untuk memperbaiki diri dan mengambil keputusan yang lebih baik! Dua hal ini, yakni : hasil baik (akibat keputusan yang “benar”) dan kesempatan memperbaiki diri (akibat keputusan yang “salah”), tak pernah akan muncul jika kita tak mengambil keputusan sama sekali. Urusan kebijakan BBM di dalam negeri yang hingga kini belum diputuskan tuntas, bisa saja tak mendatangkan implikasi serius dalam jangka pendek dan berdampak langsung pada generasi masa kini. Namun, sejarah juga mencatat bahwa setiap kenikmatan yang kita cicipi pada saat ini, juga didahului oleh pengorbanan yang ditempuh oleh generasi masa lalu. Tidaklah berlebihan juga, jika generasi masa kini merelakan diri untuk berkorban, agar kenikmatan yang sama (bahkan lebih) juga dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Seorang penulis Amerika, James Freeman Clarke (1810-1888) pernah berkata “a politician thinks of the next election; a statesman of the next generation. A politician looks for the success of his party; a statesman for that of the country. The statesman wished to steer, while the politician was satisfied to drift”. Itulah yang membedakan antara seorang negarawan dan politisi. Saya percaya bahwa almarhum Widjajono Partowidagdo adalah seorang pejabat berwatak negarawan, yang bertindak untuk kesejahteraan bangsanya, bukan kepentingan pribadinya. Demikian pula, kebijakan energi baru yang diperjuangkannya, pasti dilandasi kepedulian akan perlindungan dan kemaslahatan generasi yang akan datang, bukan pemilu di tahun 2014. Boleh jadi, kepergian Widjajono adalah pertanda bahwa bangsa ini perlu segera memikirkan, menyepakati dan memutuskan kebijakan energi yang baru, semata-mata demi kesejahteraan bersama bangsa ini dan kemaslahatan generasi masa depan. Semoga kita tidak terlambat. Salam hormat untuk Bapak Widjajono Partowidagdo

Senin, 02 September 2013

Abundance Mentality : Spirit Kapitalisme Baru

Almarhum Michael D. Ruslim, mantan orang nomor satu di Astra International suka berpesan, “Kalau tak bisa membuat orang lain gembira, jangan membuat mereka susah”. Intinya sederhana saja, jadikanlah kehadiran kita menjadi sumber kegembiraan, bukannya kejengkelan ataupun ketidaknyamanan orang lain. Boleh jadi almarhum berpesan seperti itu, karena melihat ada orang yang justru merasa bangga jika bisa menjadi trouble maker. Semakin bisa mendatangkan kejengkelan pada orang lain, semakin sukacitalah hatinya. Juga, semakin bisa menghadirkan ketakutan pada orang lain, semakin merasa terhormatlah yang bersangkutan. Tak heran, jika A’a Gym pernah mengatakan bahwa banyak orang yang “susah lihat orang senang, dan senang lihat orang susah”. Di dalam konteks pekerjaan, apa yang disampaikan A’a Gym ini mendapatkan pengukuhan, ketika kita melihat banyak orang yang bekerja dengan mengusung prinsip “jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”. Apapun jargon yang beredar, semua berujung pada sifat yang selfish alias mementingkan diri sendiri. Dikatakan selfish, karena hanya mau senang, menang dan happy sendiri, sekalipun itu harus menyusahkan, menyedihkan dan menjengkelkan orang lain. Orang-orang selfish akan merasa dirinya hebat, jika melihat orang lain jatuh terkapar. Mereka juga kecanduan untuk merayakan kegembiraan diatas kesusahan orang lain, karena berpandangan “my win is your loose”. Kita mungkin mengernyitkan dahi ketika merenungkan kalimat ini, namun boleh jadi kitapun termasuk salah seorang yang berpikiran seperti itu. Baru-baru ini saya mendapat kesempatan untuk berdiskusi dengan seorang sahabat dekat William Soeryadjaya, pendiri konglomerasi Astra International. Yang menarik perhatian saya dalam diskusi tersebut bukanlah tentang kepiawaian William dalam berbisnis dan membangun perusahaan sekelas Astra. Justru perilaku keseharian si Om (panggilan akrab segenap karyawan dan kerabat kepada William) yang mendatangkan pencerahan kehidupan. Di antara begitu banyak karakter dan perangainya, salah-satu yang paling menonjol adalah sifatnya yang murah hati alias generous. Di manapun berada, beliau sangat antusias untuk “berbagi”. Yang dibagikan bisa berupa uang, makanan ataupun oleh-oleh buah tangan lainnya. Ringkasnya, beliau ingin membagikan kegembiraan kepada sebanyak mungkin orang yang dijumpainya.
Tak heran, bahkan seorang Teddy Rachmat mengatakan bahwa “Om William adalah sosok yang kharismatis, yang kehadirannya mendatangkan aura positif dan kesukacitaan bagi orang-orang di sekitarnya”. Karena kemurahan-hatinya, banyak pihak yang berbondong-bondong mengajukan proposal permohonan bantuan kepada William. Ada proposal yang memang faktual adanya, namun tak jarang pula terselip proposal “bodong”, yakni proposal “tipuan” yang memanipulasi kemurahan hati William. Terhadap proposal bodong tersebut, William juga kerap mengulurkan tangan untuk memberikan santunan. Apakah ia bodoh dan naif? “Sama sekali tidak!”, kata sahabat dekat di atas. William justru adalah sosok yang cerdas. Saat diprotes oleh sang teman karena mengabulkan proposal bodong tersebut – dan itu berarti dirinya sedang ditipu - , William hanya menjawab ringkas dalam bahasa Belanda, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti : “let ‘em have a good day”. Kemurahan hati William begitu melimpah, bahkan hingga ia merelakan dirinya untuk ditipu sekalipun. Para pakar psikologi menyebut mentalitas kemurahan-hati yang besar itu sebagai abundance-mentality alias mentalitas kelimpah-ruahan. Orang dengan mentalitas seperti ini tak pernah merasa berkekurangan, dan oleh karenanya tak ragu untuk berbagi kepada orang-orang di sekitarnya. Ini berbeda dengan kebanyakan orang yang cenderung memiliki scarcity-mentality atau mentalitas kelangkaan. Mentalitas kelangkaan melihat hidup sebagai “zero-sum game”, yakni penjumlahan nihil dari dua hal yang saling bertentangan. Jika mau mendapatkan lebih, harus ada pihak yang dikorbankan. Demikian juga, jika mau bergembira, maka harus ada pihak yang dibuat bersedih hati. Dengan teropong mentalitas seperti ini, “menang” semata-mata berarti “mengalahkan” orang lain. Tak heran, orang yang memiliki mentalitas kelangkaan akan sulit untuk “berbagi” kepada orang lain. Karena dengan “berbagi”, mereka merasa ada bagian miliknya yang “terkurangi”. Sebaliknya, abundance-mentality menyikapi hidup dari perspektif yang sama sekali berbeda. Orang-orang seperti ini percaya bahwa apa yang ada di dunia ini lebih dari cukup untuk menghidupi semua makhluk di dalamnya. Mahatma Gandhi mengatakan “earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”. Dengan demikian, tak ada alasan untuk ragu berbagi, ataupun takut miliknya akan terkurangi. Justru dengan berbagi, mereka akan mendapatkan kembali. Dan, ini tak ada hubungannya dengan status dan peran seseorang, sekalipun ia adalah seorang “pengusaha”, yang acapkali diasosiasikan dengan sosok petarung yang suka bersaing dan mengumpulkan kekayaan. William adalah salah satu contoh terbaik pelaku kapitalisme baru yang dilansir oleh Patricia Aburdence dalam bukunya Megatrends 2010 (Hampton Roads, 2005), yang disebut conscious capitalism alias kapitalisme sadar diri. Kapitalisme jenis ini tak melulu bicara soal transaksi, uang dan kekayaan, tetapi justru sangat peduli dengan perkara-perkara semisal etika, kemaslahatan sosial dan kepedulian kepada sesama. Dalam hal ini, keuntungan usaha dan kekayaan pemiliknya dimaknai sebagai sarana untuk memperjuangan tujuan kehidupan yang lebih tinggi (higher purpose), yakni kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, alam sudah memberikan pertanda yang luar biasa bagi kita. Mari kita bandingkan air yang ada di empang dan di sungai. Air di empang umumnya keruh dan berbau, karena empang hanya menampung air yang masuk dan tak pernah mengalirkan kembali ke tempat lain. Sebaliknya, air di sungai selalu jernih dan segar, karena sungai mengalirkan kembali air yang di terimanya ke tempat lain. Ibarat sungai yang mengalirkan kembali air yang diterimanya, orang yang memiliki abundance-mentality juga membagikan kembali rezeki dan kegembiraan hidup yang didapatkannya kepada orang-orang di sekitarnya. Jadi, seperti kata Om William...”let ‘em have a good day!”