Minggu, 23 Maret 2014

Strategy : The Art of Possibility

Seperti biasa, apalagi kegiatan yang paling menyita perhatian para pelaku organisasi di akhir tahun, kalau bukan menyiapkan rencana kerja tahun depan? Bahasa kerennya strategic-planning alias perencanaan strategis, yakni perumusan strategi untuk mencapai mimpi-mimpi organisasi di masa yang akan datang. Banyak perusahaan yang secara sadar melakukan kegiatan tahunan ini, karena memang betul-betul memetik manfaat nyata darinya. Namun, tak sedikit pula perusahaan yang melakukan kegiatan ini tak lebih dari sekadar ritual tahunan. Maksudnya, jika tak dilakukan, akan merasa tak nyaman; sebaliknya jika dilakukan, sebenarnya tak ada pengaruh apa-apa. Mungkin pembaca tersenyum dengan pernyataan terakhir ini, namun jangan buru-buru untuk tak setuju dulu. Cara terbaik untuk membuktikan efektivitas kegiatan strategic planning adalah dengan melakukan evaluasi terhadap pencapaian strategi masa sebelumnya, sebelum merumuskan strategi masa yang akan datang. Ada perusahaan yang melakukan evaluasi ini secara seksama, namun banyak juga perusahaan yang menjalankannya sambil lalu saja, bahkan beberapa perusahaan tak melakukannya sama sekali. Survey kecil yang saya lakukan terhadap para manajer beberapa perusahaan menyimpulkan bahwa acapkali perusahaan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk aktivitas bernama strategic-planning, namun dampaknya terhadap langkah-nyata perusahaan (corporate actions) ternyata tak seberapa. Rumusan strategis yang telah dibuat sedemikian rupa dengan pendekatan yang metodologis, tak jarang berujung pada kondisi status-quo di lapangan. Kalau sudah demikian, kita hanya bisa bertanya “apa yang salah?”. Memang, yang paling mudah disalahkan adalah perkara eksekusi. Para pimpinan cenderung akan mengatakan “strategi (dari atas) sudah benar, eksekusinya (di lapangan) yang tidak tajam”. Bukanlah paling nikmat untuk menyalahkan pihak luar, daripada merenungkannya di dalam diri sendiri. Para strategic planners-pun akan berkilah serupa, karena mereka merasa sudah memfasilitasi proses perencanaan strategis dengan cara yang super-cermat, di atas asumsi-asumsi yang super-kuat pula. Para strategic-planners umumnya meyakini bahwa perumusan strategi yang baik musti didukung oleh segunung data dan angka, analisa yang lengkap, dan yang terpenting tak terkontaminasi oleh bias, penilaian ataupun opini subjektif. Banyaknya data yang terkandung dalam spreadsheet dan banyaknya langkah analisa yang ditempuh, seolah-olah menjadi jaminan bagi keabsahan dan keilmiahan proses perencanaan strategis yang dilakukan. Namun, jika proses perencanaan strategis itu memang dilakukan di atas pijakan analisa yang kuat, mengapa hasilnya begitu minimal, bahkan nyaris tak ada sama sekali alias status-quo? Dalam artikelnya bertajuk Bringing Science to The Art of Strategy (HBR, September 2012), mantan CEO perusahaan P&G, A.G. Lafley dkk, mengatakan bahwa semakin banyak angka-data yang tersedia dan semakin ribet proses analisa yang dilakukan, tak otomatis berarti semakin ilmiah pula proses perencanaan strategis yang dijalankan. Lewat studi eksperimentalnya, mereka berkesimpulan bahwa lebih dari sekadar kelengkapan data dan kerumitan analisa, yang terpenting adalah mindset (pola pikir) yang tepat saat menjalani proses perumusan strategi. Strategi adalah ‘the art of probability” (seni kemungkinan), bukannya semata-mata “the moment of dreaming”. Strategi bukanlah sekadar merumuskan mimpi-mimpi tanpa memusingkan kemungkinan pencapaiannya. Memikirkan strategi berarti sekaligus memikirkan wujud cita-cita dan kemungkinan pencapaiannya. Alih-alih menjadikan strategi sebagai alat-sulap abrakadabra, lebih tepat melihat strategi sebagai sarana untuk mendeteksi peluang dan kemungkinan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa seberapa dahsyatnya pun strategi yang dirumuskan, jika derajat kemungkinan pencapaiannya teramat kecil, tetaplah itu strategi yang impoten. Lagi-lagi, seperti bunyi pepatah bijak, “dream is good, but reality is even better”. Lafley dkk menamai proses perencanaan strategis di atas sebagai pendekatan probability-based, artinya memikirkan tingkat kemungkinan pencapaiannya. Mungkin terkesan mudah, namun pada kenyataannya tak sesederhana yang dibayangkan. Tantangan terbesar bukanlah terletak pada perbedaan proses perumusan strategi, namun terlebih-lebih kepada perubahan mindset (pola pikir) para manajer yang menjadi pelaku perumusan strategi. Paling tidak, ada tiga perubahan pola-pikir fundamental yang harus dilakukan oleh para manajer pemikir strategi. Pertama, sebagai langkah awal, alih-alih bertanya “Apa yang harus kita lakukan? (What should we do?)”, lebih tepat jika bertanya “Apa yang mungkin bisa kita lakukan? (What might we do?)”. Banyak manajer, terutama yang merasa dirinya hebat dan mampu melakukan hal-hal besar, secara alamiah terlatih mengajukan pertanyaan pertama, dan merasa tak nyaman dengan pertanyaan yang kedua. Kedua, para manager musti mengalihkan pertanyaannya, dari “Apa yang saya percayai?” (What do I believe?) menjadi “Apa yang nantinya harus saya percayai?” (What would I have to believe)?”. Ini menuntut para manajer untuk terbuka kepada setiap kemungkinan ide, termasuk ide yang tak disukainya secara pribadi sekalipun. Inipun tak mudah, karena tanpa disadari kita mempunyai preferensi pribadi yang membuat kita sulit bersikap objektif. Keterbukan sikap seperti ini diperlukan agar kita bisa membedah derajat kemungkinan pencapaian (probabilitas) secara objektif. Dan yang ketiga, ini yang paling sulit, yakni beralih dari pola pikir “Apa jawaban yang tepat?” (What is the right answer?) menuju “Apa pertanyaan yang tepat?” (What is the right question?). Perubahan paradigma yang terakhir ini menjadi begitu sulit, karena secara alamiah orang jauh lebih terlatih untuk menjawab, daripada bertanya. Padahal, hanya dengan bertanya, kita bisa mengumpulkan informasi dan menyimak pandangan orang lain. Dengan bertanya pula, kita bisa mengerti keadaan di sekitar dengan lengkap. Bagaimanapun, keputusan strategis yang diambil, pada akhirnya akan dijalankan oleh banyak orang di dalam organisasi, bukan oleh sang pengambil keputusan itu sendiri. Dengan demikian, pemahaman terhadap pandangan banyak orang, akan menjadi dasar yang kuat untuk melahirkan sebuah keputusan strategis yang executable; keputusan yang tak hanya berhenti di atas kertas, namun mendorong langkah implementasinya di lapangan. Pada akhirnya, strategi adalah pilihan atas sebuah kemungkinan tindakan, bukan sekadar rumusan angan-angan nun jauh di awan.

Kamis, 13 Maret 2014

Studi Banding

Saya sempat tertegun sejenak, ketika menyaksikan penolakan publik (termasuk para mahasiswa dan pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri) terhadap kunjungin studi-banding yang dilakukan oleh para wakil rakyat ke negeri seberang. Begitu maraknya kejengkelan yang diekspresikan banyak kalangan, sampai-sampai ada fraksi di DPR yang mengusulkan pemberlakuan “moratorium” alias jedah sesaat kegiatan studi banding tersebut. Dalam hati, saya bertanya apa yang salah dengan kegiatan berlabel “studi banding”, yang per definisi berarti kegiatan pembelajaran kepada pihak lain yang relevan dengan kebutuhan kita? Bukankah orang-orang bijak mengajarkan setiap makhluk di bumi (apalagi para pemimpin) untuk rajin belajar, agar semakin arif-bijaksana dan tercerahkan. Pakar kepimpinan Rick Warren pernah berkata, “never stop learning. All leaders are learners. The moment you stop learning, you stop leading”. Bahkan filsuf besar Romawi, yang juga pernah menjadi penasihat kaisar Nero, yakni Lucius Seneca, dengan tegas mengatakan “as long as you live, keep learning how to live”. Artinya, jika hidup adalah sebuah perjalanan, itu adalah perjalanan pembelajaran. Sebagai orang yang menangani agenda pembelajaran korporasi (corporate-learning) di sebuah perusahaan, saya banyak bergelut dengan kegiatan studi banding lintas perusahaan, yang juga dikenal dengan istilah “benchmark”. Saya kerap mengajukan permohonan benchmark kepada perusahaan lain, dan pada saat yang bersamaan juga banyak menerima permohonan benchmark dari perusahaan lain ke tempat saya bekerja. Dan dalam dunia usaha, sejak awal tahun 1980-an benchmark telah menjadi salah satu aktivitas pembelajaran yang lazim dan memberikan manfaat positif. Hampir semua perusahaan yang tergabung dalam Fortune-500 melakukan benchmark untuk menjaga dan meningkatkan daya saingnya. Salah-satu cerita klasik tentang keberhasilan kegiatan benchmark kelas dunia yang menjadi inspirasi bagi perusahaan lain untuk melakukan kegiatan sejenis adalah pengalaman perusahaan Xerox pada tahun 1983. Pada saat itu, perusahaan mesin fotokopi yang begitu digdaya di era 1960-70an, perlahan tapi pasti, berkembang menjadi organisasi yang tambun, lamban, sekaligus juga arogan. Mereka menjadi tak sensitif terhadap perkembangan di luar, karena begitu terpukau dan terpaut dengan kesuksesan yang mereka nikmati di masa lalu. Padahal, manapula ada makhluk yang bertahan kekal di muka bumi, tanpa melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya? Dipimpin oleh CEO barunya pada saat itu, yakni David Kearns, Xerox melakukan business-turnaround secara mendasar dan besar-besaran. Yang menarik adalah bahwa benchmark dijadikan sebagai salah agenda utama dalam keseluruhan rangkaian proyek pembenahan bisnis tersebut. Semua manajer diharuskan melakukan benchmark alias studi-banding ke perusahaan-perusahaan terbaik dunia, bahkan di manapun perusahaan itu berada. Mereka diharuskan untuk belajar dari keunggulan-keunggulan perusahaan tersebut, dan merumuskan kemungkinan aplikasinya di dalam Xerox. Dari situlah, lahir revolusi bisnis Xerox yang memampukannya untuk tetap bertahan dan bersaing dalam industri fotokopi hingga saat ini. Namun, pembaca, kita tidak perlu buru-buru kagum dengan kegiatan benchmark ataupun studi banding hanya dengan membaca kisah di atas. Pada kenyataannya, banyak sekali agenda benchmark yang tak mendatangkan manfaat apa-apa dan berakhir sebagai kunjungan wisata belaka. Dalam bukunya, Benchmarking for Competitive Advantage (1994), Rober J. Boxwell mengakui adanya potensi kegagalan yang besar dari kegiatan bertajuk benchmark. Oleh karenanya, untuk memastikan agar kegiatan pembelajaran lintas institusi ini berjalan dengan baik, minimal ada dua syarat yang perlu dipenuhi. Pertama, harus ada kesiapan dari insitusi penerima untuk membagikan (sharing) bahan pembelajarannya kepada institusi pengunjung. Tampaknya ini perkara yang mudah, namun pada kenyataannya tak banyak institusi yang terlatih untuk berbagi (sharing), karena sharing bisa berarti membuka peluang untuk membocorkan rahasia ataupun menghamburkan resep sukses perusahaan. Jika hal itu yang terjadi, biasanya yang disharingkan dalam kegiatan benchmark tersebut tak lebih dari sekadar company-profile yang tak mendatangkan manfaat pembelajaran apa-apa. Kedua, dan ini yang lebih penting, adalah kesiapan dari institusi pengunjung pada saat melakukan benchmark, dalam hal ini adalah kesiapan untuk belajar. Profesor ternama dari Harvard Business School, Clayton Christensen, pernah berpesan kepada para orang-tua, “Ajarlah anak anda ketika mereka siap untuk belajar, bukannya pada saat anda siap untuk mengajar”. Christensen tahu persis bahwa efektivitas pembelajaran terutama terletak kepada kesiapan dari pembelajar, bukan kehebatan sang pengajar. Jadi, jika pada saat melakukan studi banding, kita memang siap untuk “belajar”, niscaya pikiran dan langkah kita akan tertuntun ke tempat-tempat yang menyediakan begitu banyak bahan pembelajaran. Namun, jika kita lebih siap untuk “berwisata”, pikiran dan langkah kita pun akan terayun ke tempat-tempat belanja dan pusat keramaian, dimana kita bisa memanjakan panca-indera, tanpa pernah mendapatkan pencerahan bagi isi kepala. Dengan demikian, jika ada kegiatan studi-banding yang tak dilandasi kesiapan untuk belajar, memang patut dicurigai sebagai kunjungan wisata belaka.

Minggu, 02 Maret 2014

Believing is Seeing

Seorang CEO mengeluh kepada saya tentang tingginya turn-over karyawan yang terjadi di perusahaannya. Katanya, “rekrutmen sudah kita lakukan dengan cara yang seksama, dari pemeriksaan Curriculum Vitae, asesmen psikologi bahkan sampai tes kerja lapangan (job test), toh ujung-ujungnya yang bersangkutan cuma kerja sebentar. Habis itu, quit!!”. Boleh jadi, apa yang dialami sang CEO di atas juga dialami oleh kebanyakan perusahaan. Bahkan, ada seorang CEO lain yang saking pusingnya menghadapi persoalan turn-over dan bajak-membajak karyawan, berkelakar begini “Wah, waktu kita ternyata lebih banyak dihabiskan untuk menangani urusan orang, daripada urusan bisnis itu sendiri”. Jadi kalau organisasi anda sedang mengalami kepusingan menghadapi persoalan perpindahan karyawan yang intens, jangan khawatir...anda tidak sendirian. Bukan hanya di Indonesia, di belahan dunia lain pun muncul persoalan yang sama. Para pengamat organisasi yakni Monika Hamori, Jie Cao dan Burak Koyuncu melakukan studi perihal kegelisahan para pekerja (khususnya para manajer muda) di tempat kerjanya masing-masing. Dalam artikelnya yang bertajuk “Why Top Young Managers Are in a Nonstop Job Hunt” (HBR, July-August 2012), mereka memaparkan hasil studi yang dilakukan terhadap 1200 manajer muda secara on-line. Para manajer muda yang disurvey ini adalah kelompok profesional bertalenta hebat, dengan kisaran umur 30-an, memiliki catatan prestasi akademis yang tinggi, lulusan dari perguruan tinggi ternama, dan bahkan memiliki pengalaman magang di perusahaan-perusahaan internasional. Hasilnya? Tiga per empat dari mereka selalu menjalin kontak dan mengirim resume/CV kepada perusahaan headhunter, dan melakukan wawancara untuk mendapatkan pekerjaan baru (job interview) paling tidak setahun sekali. Hampir 95% dari mereka secara rutin terlibat dalam aktivitas sejenis, mulai dari sekadar meng-update CV ataupun mencari informasi tentang lowongan pekerjaan baru. Dan, umumnya mereka meninggalkan pekerjaannya setelah bekerja selama rata-rata 28 bulan. Ada beberapa persoalan yang memicu kegelisahan para manajer muda berbakat tersebut, dan salah satu sumber utamanya terletak pada agenda pengembangan karyawan (employee development) yang dilakukan perusahaan. Banyak perusahaan yang hanya sekadar bersandar kepada on the job development alias program pengembangan lewat penugasan pekerjaan. Ini jelas proses pengembangan yang baik, karena menghadirkan pengalaman dan pergulatan langsung atas kondisi pekerjaan yang riil. Dan bagi perusahaan, on the job development juga mendatangkan hasil karya yang nyata, dan terutama tak membutuhkan waktu serta biaya yang besar. Namun pada kenyataannya, para karyawan juga mengharapkan adanya program pengembangan yang lebih formal, seperti pelatihan (training) ataupun pendampingan (coaching). Dalam hal inilah, banyak perusahaan yang tidak melaksanakannya dengan baik dan konsisten, karena kegiatan tersebut membutuhkan investasi waktu dan dana yang besar. Selain mengeluarkan biaya untuk mengongkosi kegiatan pelatihan tersebut, perusahaan juga harus merelakan karyawannya meninggalkan pekerjaannya sementara waktu tatkala sedang ikut program pengembangan. Dan itu berarti hilangnya produktivitas dan kinerja karyawan. Disinilah lingkaran setan itu dimulai. Di satu pihak, perusahaan enggan untuk mengeluarkan investasi yang besar dalam urusan pengembangan karyawan, karena merasa bahwa mereka toh tak akan bertahan lama kerja di perusahaan. Sementara itu, karyawan terdorong untuk meninggalkan perusahaan dan pindah ke tempat lain, karena merasa tak mendapatkan program pengembangan yang memadai. Dalam urusan pengembangan karyawan, ada dua paradigma yang lazim dianut oleh perusahaan. Pertama adalah pola pikir “seeing is believing”, yang berarti perusahaan perlu memastikan bahwa kegiatan pengembangan karyawan memang harus mendatangkan manfaat yang senyata-nyatanya, entah itu dalam rupa peningkatan pengetahuan, keterampilan dan juga perilaku karyawan, yang ujung-ujungnya bermuara kepada peningkatan produktivitas karyawan. Jika produktivitas karyawan sudah meningkat, maka kinerja perusahaan secara keseluruhan juga akan melesat pula. Untuk mengkonfirmasi manfaat nyata tersebut secara bisnis, beberapa perusahaan secara cermat melakukan perhitungan ROI (return on investment) di bidang pengembangan dan pelatihan karyawan. Jika hasil perhitungan ROI bagus, barulah perusahaan menggelontorkan uang dan mengalokasikan waktu untuk kegiatan pelatihan tersebut. Namun, ada pula perusahaan yang menganut paradigma “believing is seeing”. Ini berarti, jika kita memang percaya bahwa kegiatan pengembangan karyawan akan mendatangkan manfaat positif bagi perusahaan, maka manfaat tersebut memang sungguh-sungguh akan menjadi nyata di kemudian hari. William Soeryadjaja, pendiri Astra International, dalam hal ini adalah penganut makzab demikian. Sedari awal, ia dengan ringan tangan mengulurkan investasi yang begitu besar untuk kegiatan pengembangan karyawan di perusahaan yang dilahirkannya tersebut , dari membangun gedung diklat hingga mengirim peserta mengikuti pelatihan, bahkan sampai ke luar negeri. Dan terbukti, keyakinan William Soeryadjaja menjadi kenyataan pada saat ini, dengan hadirnya organisasi Astra yang terus bertumbuh di atas landasan budaya pembelajaran dan pengembangan SDM yang kuat. Sebuah pepatah Cina menyebutkan , “jika anda ingin makmur selama setahun, tanamlah gandum. Jika ingin makmur selama 10 tahun, tanamlah pohon. Namun jika anda ingin makmur selama seabad, kembangkanlah sumber daya manusianya”. Urusan pengembangan SDM memang bukan perkara jangka-pendek, yang hasilnya akan segera kita tuai dalam hitungan menit, jam ataupun hari. Tak ada ceritanya bahwa produktivitas karyawan melonjak kaget, sehari setelah yang bersangkutan mengikuti pelatihan. Karena, peningkatan produktivitas dan kinerja karyawan yang sejati adalah hasil akumulasi proses pembelajaran dan pengembangan yang terjadi secara terus menerus dari waktu ke waktu. So, kalau memang kita ingin membangun organisasi untuk kurun waktu seabad, mengembangkan SDM adalah pilihan yang niscaya. Namun, itu butuh kesabaran, konsistensi dan tentunya juga... believe!