Selasa, 01 Oktober 2013

Benturan Kepentingan

Tulisan saya berjudul “Etika dan Reputasi” pada tabloid Kontan edisi 30 April – 6 Mei 2012 mendapat tanggapan dari seorang rekan. Katanya, “Urusan etika itu seperti belut. Seringkali begitu nyata, namun tak dapat tertangkap tangan”. Intinya, jika etika adalah sebuah “aturan main”, maka aturan main tersebut tidaklah bersifat memaksa dan mengikat. Berbeda dengan hukum positif yang secara tegas mengatur “do” dan “don’ts” dari sebuah tindakan atau perilaku - berikut sangsi bagi pelanggaran terhadapnya -, etika lebih merupakan panduan normatif bagi seseorang untuk bertindak secara pantas, layak dan bermartabat. Pelanggaran etika pun tak serta-merta dapat ditafsirkan dan ditindaklanjuti secara formal layaknya hukum positif, dan sangsinya pun bersifat moral belaka. Ujian implementasi etika (yakni etika bisnis dan etika kerja) menjadi semakin nyata, tatkala pelaku organisasi menghadapi “conflict of interest” atau konflik kepentingan, yakni saat kepentingan organisasi berbenturan dengan kepentingan pribadi. Jika dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu, pasti tak susah buat kita menjawab “harus mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi”. Namun, jika seseorang sungguh dihadapkan dengan kenyataan tersebut, tak jarang akan menimbulkan komplikasi yang memusingkan kepala. Beberapa saat yang lalu, seorang mantan CEO menceritakan kepada saya pengalaman “benturan kepentingan” yang dialaminya secara nyata. Kisahnya dimulai saat perusahaan yang dikomandaninya hendak menerapkan pedoman Good Corporate Governance (GCG), yang di dalamnya juga mencakup praktek etika bisnis dan etika kerja. Mantan CEO tersebut dihadapkan dengan kenyataan bahwa pada saat yang bersamaan ia tak hanya menjadi seorang CEO (profesional pengurus perusahaan) namun juga menjadi Shareholder (pemilik saham perusahaan). “Posisi ganda” seperti ini potensial menimbulkan “benturan kepentingan”, karena bisa menciptakan bias dalam proses pengambilan keputusan. Seseorang akan sulit mengambil keputusan secara objektif, karena potensi mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi cukup besar. Kalaupun yang bersangkutan benar-benar mengambil keputusan secara objektif (dengan mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan dirinya), persepsi negatif dari publik juga tak bisa dicegah. Tidaklah mengherankan, jika prinsip GCG menganjurkan pemisahan tegas antara fungsi “kepemilikan” dan “kepengurusan” dari sebuah organisasi. Situasi rawan “conflict of interest” yang dialami sang mantan CEO tersebut adalah konsekwensi dari masa transisi perusahaan yang dialaminya. Sebelum go public, perusahaan yang dipimpinnya adalah perusahaan yang dimiliki secara pribadi oleh seorang pengusaha. Sang pemilik adalah seorang entrepreneur sejati, yang senang membangun “kemitraan” dengan para profesional di perusahaan miliknya, dalam rangka membesarkan portfolio bisnisnya. Salah-satu bentuk kemitraan yang ditempuh sang pemilik adalah dengan memberikan sebagian saham perusahaan kepada para profesionalnya. Sang mantan CEO, sebagai salah-satu profesional, tentunya juga mendapatkan jatah saham di perusahaan milik sang pengusaha. Setelah tercatat di lantai bursa, perusahaan pun harus menunjukkan perilaku organisasi layaknya sebuah perusahaan terbuka (Tbk), yaitu tunduk kepada prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dengan landasan etika bisnis dan etika kerja yang kuat. Seperti yang telah diutarakan di atas, praktek GCG mendorong adanya pemisahan yang tegas antara fungsi “kepemilikan perusahaan” (pemegang saham) dan “kepengurusan perusahaan” (tim manajemen), yang bertujuan untuk mencegah terjadinya moral-hazards yang tak semestinya. Tentunya “pemisahan fungsi” ini menempatkan sang mantan CEO dalam posisi yang tak nyaman, sebagai orang yang pada saat itu memiliki “fungsi ganda” akibat warisan praktek bisnis sebelum go public. Sang mantan CEO menyadari bahwa kondisi dilematis ini adalah sebuah fakta organisasi yang harus dia hadapi. Baginya, praktek GCG dengan standar etisnya adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh oleh organisasi yang ingin sustainable secara jangka-panjang. Namun, ia juga tak perlu merasa bersalah karena ikut “memiliki saham” perusahaan yang dikelolanya, sebagai pemberian dari sang pemilik di masa lalu. Buat sang mantan CEO, yang penting apa yang dimilikinya dideklarasikan secara “terang benderang” (“transparan”) dan apa yang dilakukannya diputuskan secara objektif (“akuntabel”). Bukankah “transparansi” dan “akuntabilitas” adalah ciri-ciri utama dari institusi yang menegakkan tata kelola yang baik? Untuk urusan “transparansi”, sejak penerapan GCG, sang mantan CEO menjelaskan secara terbuka (kepada jajaran organisasi dan juga publik) tentang status kepemilikan saham yang dimilikinya secara rinci. Ia ingin menjelaskan kepada mereka bahwa tak ada sepeser uang atau selembar saham-pun yang ia peroleh lewat cara tak pantas. Sementara untuk urusan “akuntabilitas” proses pengambilan keputusan, sang mantan CEO bersikap “mengambil jarak” dalam proses pengambilan keputusan terhadap urusan yang terkait dengan dirinya (baik terkait secara langsung ataupun tidak). Secara praktis, ia akan menyerahkan proses pengambilan keputusan untuk urusan seperti itu kepada sebuah tim independen, dan tidak akan campur tangan sama sekali. Apapun keputusan yang diambil oleh tim independen tersebut, ia akan terima dengan lapang hati. Penerapan etika memang tak selalu mudah, apalagi bila berbenturan dengan kepentingan pribadi secara nyata. Saat prinsip etis tak kita hidupi dengan baik, mungkin tak ada hukum formal yang memberikan sangsi dan punishment secara konkret. Demikian juga, kita mungkin bisa menyiasati dan “mengakali” prinsip etis tersebut dengan seribu argumentasi, namun yang jelas kita tak akan pernah bisa membohongi diri sendiri. “Semaksimal mungkin, saya akan selalu bertindak di atas kesadaran nurani (conscience) saya. Karena, itu yang mendatangkan inner peace di dalam hidup saya”, ujar
sang mantan CEO menyikapi persoalan etis di dalam kehidupan bisnis dan profesionalnya.

1 komentar:

  1. The Best Live Casino Apps in Colorado 2021 - DrMCD
    Top Live Casinos · 경기도 출장마사지 PlayOJO – 동해 출장마사지 Best for slots · Red Dog – Slots 부산광역 출장샵 · 나주 출장안마 Golden Nugget – Great for table games · Red 진주 출장샵 Dog – Slots.

    BalasHapus