Senin, 28 Oktober 2013

Eksekusi Yang Tajam

Senyampang masih dalam suasana ajang Piala Eropa, perkenankan saya berbicara sedikit tentang perkara sepak-bola. Ada tim-tim sepakbola, seperti tim Belanda asuhan Van Marwijk, yang sepanjang pertandingan menunjukkan ball-possesion yang tinggi, namun ternyata berujung kepada kekalahan. Mereka aktif berlari kesana kemari sambil menggiring bola, sambil melancarkan tendangan ke gawang (shots on goal), akan tetapi tak ada yang berhasil menjaringkan bola ke dalamnya.
Namun, pertandingan sepakbola bukanlah perlombaan lari. Permainan sepakbola menjadi berarti tatkala seorang pemain berhasil mencetak gol ke gawang dan mendatangkan kemenangan kepada timnya. Di dalam dunia kerja, kita mengenal istilah “sibuk” dan “efektif”. Kesibukan berhubungan dengan volume aktivitas yang kita lakukan, sementara efektivitas terkait dengan value (nilai) yang kita hasilkan dari aktivitas tersebut. Bisa saja kita begitu sibuk alias memiliki volume aktivitas yang tinggi, namun tidak otomatis kita menjadi lebih efektif dalam mendatangkan manfaat atau nilai tambah bagi perusahaan. Oleh karenanya, guru saya mengatakan bahwa kita tak hanya cukup menuntut seseorang untuk bekerja ekstra keras atau istilah kerennya “willingness to do more”, namun pada saat yang bersamaan yang bersangkutan juga harus memiliki sikap “willingness to deliver more”. Dalam konteks sepakbola di atas, “do more” hanya terkait dengan “ball-possesion dan shots on goal”. Sebaliknya, “deliver more” adalah sesuatu yang terkait dengan “goal” itu sendiri serta kemenangan bagi tim secara keseluruhan. Jembatan untuk menjadikan “do more” menjadi “deliver more” adalah dengan melakukan eksekusi yang tajam. Eksekusi yang dilakukan dengan ala kadarnya, tak akan mendatangkan hasil yang maksimal. Sementara, eksekusi yang tajam akan membuat langkah kegiatan kita menjadi lebih efektif, dan mendatangkan hasil seperti yang diharapkan. Seperti yang diakui oleh para pelaku bisnis, seringkali kegagalan operasi bisnis terjadi bukan karena ketiadaan strategi yang hebat dan canggih, namun karena kelalaian dan kelemahan dalam hal eksekusi. Dalam buku anyarnya, The 4 Disciplines of Execution : Acieving Your Wildly Important Goals, Chris McChesney, Sean Covey dan Jim Huling, mensyaratkan empat disiplin yang harus dimiliki sebuah organisasi agar eksekusi rencana kerja dapat berlangsung tajam. Pertama, adalah sikap fokus. Hasil studi menunjukkan, sikap rakus untuk meraih banyak sasaran (goals) pada saat yang bersamaan, justru membuat tak ada sasaran yang tereksekusi secara sempurna. Semakin banyak sasaran yang ingin kita capai, justru semakin menghilangkan energi dan fokus kita untuk mengeksekusi secara tajam. Ujung-ujungnya, jika sasaran tersebut dieksekusi, hasilnya pun menjadi sekadarnya saja. Padahal, seperti diungkapkan oleh pakar manajemen Jim Collins, dalam bisnis “good is the enemy of great”. Organisasi harus fokus kepada sasaran yang tidak hanya “penting” (important), namun “sungguh-sungguh penting” (wildly important). Keberhasilan mencapai sasaran ini, akan membuat segala sesuatu menjadi berbeda. Sebaliknya, kegagalan meraih sasaran ini, akan membuat pencapaian-pencapaian lainnya menjadi kehilangan makna. Kedua adalah sikap prioritas. Prinsip pareto (yang dikenal juga prinsip 80/20), mengajarkan kepada kita bahwa 80% hasil yang kita raih dikontribusikan oleh 20% aktivitas yang kita lakukan. Dengan demikian, mengapa kita tidak memprioritaskan diri untuk memikirkan dan melaksanakan secara mantap 20% kegiatan tersebut. Langkah-langkah aktivitas utama (disebut pula lead-measure) tersebutlah yang harus dipikirkan secara seksama dan diberikan perhatian utama. Alokasi sumber daya, termasuk pikiran dan tenaga, perlu dikonsentrasikan kepada aktivitas-aktivitas utama tersebut. Prinsip prioritas mendidik kita untuk tak hanya bekerja dengan keras, namun bekerja secara cerdas pula. Ketiga adalah sikap kompetitif. Perusahaan perlu menyediakan “scoreboard” yang bisa memotivasi orang untuk bersikap kompetitif. Sebagai contoh, mari kita petik pembelajaran dari bidang olah-raga, yang dikenal sebagai salah satu bidang kehidupan yang paling kompetitif. Beberapa bidang olah-raga kompetisi, seperti basket dan bulutangkis, adalah jenis olah-raga yang paling seru dan mendorong para pemainnya untuk bertarung habis-habisan mengerahkan kemampuan terbaiknya. Tanpa kita sadari, papan skor yang selalu bergerak dari waktu ke waktu, dan bisa disaksikan setiap saat oleh semua orang, adalah alat kecil yang memompa adrenalin para pemain untuk bersaing habis-habisan. Eksekusi yang tajam juga membutuhkan semangat persaingan seperti itu, agar adrenalin para eksekutor di lapangan terpompa sepenuh-penuhnya. Dan, yang terakhir adalah sikap pertanggung-jawaban. Seberapa hebatnya pun sasaran yang kita rumuskan, prioritas yang kita tetapkan dan suasana kompetisi yang kita ciptakan, pada akhirnya yang menjadi pelaksana eksekusi adalah manusia juga. Seberapa hebatnya sistem yang diciptakan dan fasilitas yang disediakan, tak akan menjadi berarti apa-apa tanpa didukung manusia yang memiliki komitmen. Ibarat mobil mewah nan canggih, namun tanpa bahan bakar di tangkinya. Organisasi perlu membangun sistem yang memungkinkan orang untuk bersikap akuntabel terhadap apa yang dilakukannya. Ada insentif (reward) yang diberikan jika mereka melakukan tugas-tanggung jawabnya dengan baik, sebaliknya juga ada dis-insentif (punishment) yang dikenakan jika mereka lalai menjalankan tanggung-jawabnya dengan baik. So, mari kita ukur apakah kita sudah memiliki keempat sikap dan disiplin di atas, agar eksekusi rencana organisasi kita dapat berjalan baik dan tajam?

Senin, 21 Oktober 2013

Antara "Pembatasan" dan "Inovasi"

Hingga saat ini, kita tak pernah mengerti persis bagaimana kebijakan energi jangka panjang yang akan ditempuh oleh pemerintah, yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan ratusan juta rakyat Indonesia di masa yang akan datang. Perubahan rencana kebijakan dari waktu ke waktu, mulai dari kenaikan harga BBM bersubsidi, pengembangan BBM hibrida premix dengan mencampurkan premium dan pertamax, hingga pembatasan pemakaian BBM bersubsidi, ternyata hanya berujung kepada pembatasan pemakaian BBM bersubsidi oleh kendaraan pelat merah. Saat ini, mulai banyak yang meragukan pula keberlangsungan kebijakan tersebut, dan dampak positif yang ditimbulkannya. Seorang teman berseloroh, bagaimana pemerintah bisa menghemat anggaran belanja (yang merupakan salah satu tujuan utama kebijakan BBM jangka pendek), jika yang terjadi adalah sebaliknya, yakni mobil-mobil pemerintah justru diharuskan untuk membeli bahan bakar non subsidi yang harganya jauh lebih mahal? Selain ide pembatasan penggunaan BBM, sebuah ide alternatif dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa pada saat memberikan sambutannya dalam acara peringatan ulang ke-55 PT Astra International Tbk, awal bulan Mei yang lalu. Hatta menantang perusahaan raksasa otomotif Indonesia tersebut untuk ikut mencari solusi dan melakukan inovasi dalam menyelesaikan masalah BBM, yakni salah-satunya dengan cara membuat mobil irit bahan bakar minyak. Wacana tentang “pembatasan” dan “inovasi” selalu menjadi perdebatan klasik para ahli dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam yang jumlahnya terbatas dan tak dapat diperbaharui (non-renewable). Adalah Thomas Malthus (1766-1834), seorang pendeta Anglikan yang juga ahli ekonomi politik, yang mempelopori gerakan “pembatasan”. Malthus berpandangan, jika tidak dikendalikan atau dibatasi, maka populasi manusia akan bertambah menurut deret ukur (geometrik), sementara jumlah pangan tersedia hanya akan meningkat menurut deret hitung (aritmatik). Oleh karenanya, tak ada pilihan lain bagi manusia untuk bisa hidup bertahan dalam jangka panjang, kecuali membatasi jumlah populasi demi menjaga ketersediaan pangan. Beberapa studi dan kebijakan yang ditempuh oleh tokoh-tokoh ternama seperti Charles Darwin, John Maynard Keynes dan juga Mao Zedong sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mathus ini. Sementara itu, bertolak belakang dengan Malthus, muncul ide “inovasi” yang diluncurkan oleh Robert Solow (1924- sekarang), seorang guru-besar emeritus dari MIT dan peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi. Bagi Solow, tak perlu khawatir dengan persoalan kelangkaan pangan dan sumber daya alam lainnya. Kelangkaan seperti ini tak harus dilihat sebagai sebuah “bencana”, namun sekadar sebuah “peristiwa alamiah” yang pasti akan terjadi seiring dengan perjalanan peradaban manusia. Dan, Solow percaya, lewat kecerdasan dan kemampuannya, manusia akan mampu mengatasi persoalan tersebut lewat berbagai langkah inovasinya. Bagi para pengikut Solow, manusia bisa menggenjot pertumbuhan (growth) tanpa batas, karena inovasi (khususnya di bidang teknologi) memang tak berbatas. Dalam artikelnya bertajuk “Saving The Planet : A Tale of Two Strategies” (HBR, April 2012), Roger Martin dan Alison Kemper mengatakan bahwa kedua pendekatan di atas tak perlu diadu secara konfrontatif. Justru, jika kita ingin meraih progress yang nyata, kedua pendekatan tersebut dapat digabungkan dan diupayakan secara bersama-sama. Secara jangka pendek, memang kebijakan yang berorientasi “pembatasan” akan menciptakan dampak nyata, namun yang jelas tak akan menolong secara jangka panjang. Sebaliknya, kebijakan yang berorientasi”inovasi” akan menghasilkan solusi yang lebih sustainable, namun demikian kita membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk melakukan riset dan menghasilkan temuan inovatif. Bagi Martin dan Kemper, pemerintah bisa menerapkan kebijakan berorientasi “pembatasan” berbarengan dengan kebijakan berorientasi “inovasi”. Pemerintah bisa mendidik masyarakat agar dapat mengkonsumsi energi secara bertanggung-jawab, tanpa harus merasa khawatir akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sekaligus juga, pemerintah bisa menciptakan kebijakan harga, yang bisa merangsang dan mendorong proyek-proyek inovasi. Mantan wakil menteri ESDM, almarhum Widjajono Partowidagdo, menyesalkan kebijakan pemerintah yang “sempat” menurunkan harga BBM, karena penurunan harga ini tak simetris dengan mimpi pemerintah untuk mendorong masyarakat beralih dari kebiasaan mengkonsumsi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Pada akhirnya, pemerintah, masyarakat dan komunitas bisnis bisa ambil bagian secara bersama untuk menyelamatkan planet bumi ini, khususnya bumi Indonesia. Pemerintah bisa menciptakan regulasi yang bisa mendidik publik untuk mengkonsumsi energi secara bertanggung-jawab. Masyarakat juga bisa ikut ambil bagian dengan mengubah kebiasaan perilaku, baik kebiasaan dalam pemanfaatan energi secara bertanggung-jawab ataupun penyesuaian diri terhadap teknologi baru yang inovatif. Dan, komunitas bisnis bisa berpartisipasi dengan menggarap proyek-proyek inovasi yang dapat menyiasati persoalan energi secara kreatif. Jadi, antara “pembatasan” dan “inovasi”, tak perlu dikonfrontasikan ataupun diprioritas satu sama lainnya. Keduanya bisa dilakukan pada saat yang bersamaan, dengan hasil yang bahkan jauh lebih baik.

Senin, 07 Oktober 2013

Tak Ada Jalan Pintas

Belakangan ini kita dipusingkan kembali oleh issue investasi bodong yang dilakukan oleh koperasi Langit Biru dan Gradasi Anak Negeri. Sebenarnya ini bukan cerita baru, bahkan beberapa tahun lalu ada kasus serupa dengan kehebohan yang lebih besar, yang dilakukan oleh PT. QSAR (Qurnia Subur Alam Raya). Kasus QSAR menimbulkan kehebohan, karena beberapa pejabat tinggi pemerintahan ikut menjadi korban investasi yang beroperasi dengan skema ponzi ini. Per definisi, skema ponzi berarti portfolio investasi yang sarat kecurangan (fraudulent), yang membayar hasil investasi kepada investornya dengan menggunakan uang mereka sendiri atau uang yang disetorkan oleh investor-investor berikutnya; bukannya dengan menggunakan keuntungan yang didapatkan dari operasi bisnis perusahaan tersebut. Skema Ponzi umumnya menawarkan iming-iming yang sangat menggiurkan dibandingkan dengan portfolio investasi lainnya, umumnya dalam bentuk tingkat keuntungan jangka pendek yang super-tinggi. Dengan demikian, untuk mengongkosi tuntutan pembayaran keuntungan yang super-tinggi tersebut, pengelola membutuhkan aliran dana yang kencang dengan cara merekrut sebanyak-banyaknya investor baru. Alhasil, tanggul kas pun tak perlu menunggu waktu lama untuk jebol menjadi persoalan gagal-bayar. Sebenarnya, dengan logika bisnis yang paling kreatif sekalipun, praktek skema ponzi adalah sebuah langkah investasi yang tak masuk akal. Namun, begitulah manusia – termasuk manusia Indonesia tentunya -, banyak yang tak sabar untuk menanam usaha, namun ingin segera menuai hasil. Semua ingin melihat hasil usaha secara instan, seperti kisah mitologi penciptaan candi Prambanan yang secara adrakadabra selesai dalam semalam. Ada yang menyebut mentalitas ini sebagai mentalitas terabas, instan ataupun potong jalan pintas. Padahal, agama manapun jauh-jauh hari sudah mengajarkan umatnya, bahwa untuk setiap kenikmatan yang kita cicipi, perlu ada keringat yang harus kita teteskan. Saya teringat dengan nasehat yang pernah diberikan oleh guru saya. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara profit, profitabilitas dan sustainabilitas. Ini sebuah pola pikir yang menarik, karena umumnya kita jarang memikirkan secara seksama ketiga hal tersebut, yang sekilas terkesan mirip dan tak berbeda. Katanya lagi, “sebuah perusahaan bisa saja mencetak profit di laporan keuangannya, namun sebenarnya tak mempunyai profitabilitas”. Nah loh..., bagamaina pula ceritanya? Di dalam bisnis, secara umum kita mengenal dua jenis pendapatan, yakni : operating income dan other income. Operating income adalah pendapatan yang kita peroleh dari hasil operasi bisnis kita, sementara other income adalah pendapatan yang kita peroleh bukan dari hasil operasi bisnis, namun dari hal di luar bisnis semisal penjualan aset menganggur dsb.nya. Perusahaan dikatakan memiliki profitabilitas (kemampuan mencetak keuntungan), jika memang mampu menciptakan operating income yang lebih besar dari biaya operasi-bisnisnya (operating cost). Dengan demikian, jika ada perusahaan yang bisa mencetak profit, sementara tak memiliki profitabilitas, pastilah sebagian pendapatan perusahaan diperolehnya lewat jalur non-bisnis lain-lain alias other income. Bisnis yang sehat harus memastikan bahwa keuntungan yang diperolehnya memang betul-betul dari operasi bisnisnya (operating income), bukan dari faktor-faktor di luar operasi bisnis (other income). Mengapa? Karena dari namanya saja sudah disebut other income, artinya itu jenis pendapatan yang tak bisa dipastikan eksistensinya setiap saat. Mirip seperti rezeki nomplok, yang bisa saja datang tiba-tiba, dan kemudian menghilang tak berbekas. Lebih jauh, guru saya juga mengingatkan bahwa perusahaan yang memiliki profitabilitas pada saat ini, tak serta merta akan berhasil mempertahankan profitabilitasnya di masa-masa yang akan datang. Sudah banyak contoh yang bisa kita lihat, perusahaan yang semula begitu sehat dan berjaya, beberapa tahun kemudian tersaput hilang oleh derasnya arus kompetisi dan kencangnya dinamika perubahan. Perusahaan harus bisa memastikan dirinya untuk beroperasi secara unggul alias mempunyai operational excellence , agar profitabilitas dapat terjaga secara berkelanjutan (sustainabilitas). Untuk mencapai operational excellence, tak ada pilihan lain kecuali perusahaan musti peduli kepada detil operasi bisnis, yang juga berarti cermat mengolah dan menjalani setiap proses bisnis di dalamnya. Karena, kinerja keseluruhan organisasi sejatinya adalah penjumlah kumulatif dari kinerja setiap proses bisnis yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks penganalisaan laba-rugi perusahaan, semestinya para pelaku bisnis tak hanya berhenti dan terpukau pada urusan P&L (profit-loss atau laba-rugi) perusahaan secara keseluruhan saja (overall bottom-line), namun sebaliknya secara seksama menganalisa P&L pada tingkatan yang paling kecil (the smallest level of P&L). Katakanlah untuk perusahaan maskapai penerbangan, pelaku usaha di bidang tersebut hendaknya bisa menelaah kinerja keuangannya pada tingkatan P&L per armada atau pesawat. Demikian pula, untuk perusahaan jasa pembiayaan, P&Lnya harus bisa ditelusuri secara detil hingga tingkatan P&L per kendaraan yang dibiayai. Dengan melakukan analisa P&L secara detil hingga tingkatan yang paling kecil, perusahaan bisa memastikan apakah kinerja keuangan yang diraihnya sungguh-sungguh berasal dari operasi bisnis yang excellent atau faktor di luar operasi bisnis, semisal nasib baik atau rezeki sesaat belaka. “Sembilan dari sepuluh bisnis tak bisa bertahan langgeng, karena tak memiliki operational excellence. Mereka tak cermat dalam mengeksekusi detil dari setiap proses bisnis dan menganalisa implikasi keuangan yang diakibatkannya. Bagaimanapun, business operation yang baik membutuhkan perhitungan yang cermat dan eksekusi yang tajam; tak bisa mengandalkan luck (keberuntungan) semata”, demikian kata sang guru. Pada akhirnya, sepanjang detil operasi bisnis tertata rapi, diperhitungkan secara cermat, dan dieksekusi secara tekun dan seksama, niscaya hasil dan keuntungannyapun akan hadir secara berkesinambungan. Ringkasnya, tak ada jalan pintas, juga tak ada sikap tergesa-gesa, serta tak ada pula sikap menyerahkan bisnis dan investasi kita kepada nasib-baik semata.

Selasa, 01 Oktober 2013

Benturan Kepentingan

Tulisan saya berjudul “Etika dan Reputasi” pada tabloid Kontan edisi 30 April – 6 Mei 2012 mendapat tanggapan dari seorang rekan. Katanya, “Urusan etika itu seperti belut. Seringkali begitu nyata, namun tak dapat tertangkap tangan”. Intinya, jika etika adalah sebuah “aturan main”, maka aturan main tersebut tidaklah bersifat memaksa dan mengikat. Berbeda dengan hukum positif yang secara tegas mengatur “do” dan “don’ts” dari sebuah tindakan atau perilaku - berikut sangsi bagi pelanggaran terhadapnya -, etika lebih merupakan panduan normatif bagi seseorang untuk bertindak secara pantas, layak dan bermartabat. Pelanggaran etika pun tak serta-merta dapat ditafsirkan dan ditindaklanjuti secara formal layaknya hukum positif, dan sangsinya pun bersifat moral belaka. Ujian implementasi etika (yakni etika bisnis dan etika kerja) menjadi semakin nyata, tatkala pelaku organisasi menghadapi “conflict of interest” atau konflik kepentingan, yakni saat kepentingan organisasi berbenturan dengan kepentingan pribadi. Jika dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu, pasti tak susah buat kita menjawab “harus mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi”. Namun, jika seseorang sungguh dihadapkan dengan kenyataan tersebut, tak jarang akan menimbulkan komplikasi yang memusingkan kepala. Beberapa saat yang lalu, seorang mantan CEO menceritakan kepada saya pengalaman “benturan kepentingan” yang dialaminya secara nyata. Kisahnya dimulai saat perusahaan yang dikomandaninya hendak menerapkan pedoman Good Corporate Governance (GCG), yang di dalamnya juga mencakup praktek etika bisnis dan etika kerja. Mantan CEO tersebut dihadapkan dengan kenyataan bahwa pada saat yang bersamaan ia tak hanya menjadi seorang CEO (profesional pengurus perusahaan) namun juga menjadi Shareholder (pemilik saham perusahaan). “Posisi ganda” seperti ini potensial menimbulkan “benturan kepentingan”, karena bisa menciptakan bias dalam proses pengambilan keputusan. Seseorang akan sulit mengambil keputusan secara objektif, karena potensi mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi cukup besar. Kalaupun yang bersangkutan benar-benar mengambil keputusan secara objektif (dengan mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan dirinya), persepsi negatif dari publik juga tak bisa dicegah. Tidaklah mengherankan, jika prinsip GCG menganjurkan pemisahan tegas antara fungsi “kepemilikan” dan “kepengurusan” dari sebuah organisasi. Situasi rawan “conflict of interest” yang dialami sang mantan CEO tersebut adalah konsekwensi dari masa transisi perusahaan yang dialaminya. Sebelum go public, perusahaan yang dipimpinnya adalah perusahaan yang dimiliki secara pribadi oleh seorang pengusaha. Sang pemilik adalah seorang entrepreneur sejati, yang senang membangun “kemitraan” dengan para profesional di perusahaan miliknya, dalam rangka membesarkan portfolio bisnisnya. Salah-satu bentuk kemitraan yang ditempuh sang pemilik adalah dengan memberikan sebagian saham perusahaan kepada para profesionalnya. Sang mantan CEO, sebagai salah-satu profesional, tentunya juga mendapatkan jatah saham di perusahaan milik sang pengusaha. Setelah tercatat di lantai bursa, perusahaan pun harus menunjukkan perilaku organisasi layaknya sebuah perusahaan terbuka (Tbk), yaitu tunduk kepada prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dengan landasan etika bisnis dan etika kerja yang kuat. Seperti yang telah diutarakan di atas, praktek GCG mendorong adanya pemisahan yang tegas antara fungsi “kepemilikan perusahaan” (pemegang saham) dan “kepengurusan perusahaan” (tim manajemen), yang bertujuan untuk mencegah terjadinya moral-hazards yang tak semestinya. Tentunya “pemisahan fungsi” ini menempatkan sang mantan CEO dalam posisi yang tak nyaman, sebagai orang yang pada saat itu memiliki “fungsi ganda” akibat warisan praktek bisnis sebelum go public. Sang mantan CEO menyadari bahwa kondisi dilematis ini adalah sebuah fakta organisasi yang harus dia hadapi. Baginya, praktek GCG dengan standar etisnya adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh oleh organisasi yang ingin sustainable secara jangka-panjang. Namun, ia juga tak perlu merasa bersalah karena ikut “memiliki saham” perusahaan yang dikelolanya, sebagai pemberian dari sang pemilik di masa lalu. Buat sang mantan CEO, yang penting apa yang dimilikinya dideklarasikan secara “terang benderang” (“transparan”) dan apa yang dilakukannya diputuskan secara objektif (“akuntabel”). Bukankah “transparansi” dan “akuntabilitas” adalah ciri-ciri utama dari institusi yang menegakkan tata kelola yang baik? Untuk urusan “transparansi”, sejak penerapan GCG, sang mantan CEO menjelaskan secara terbuka (kepada jajaran organisasi dan juga publik) tentang status kepemilikan saham yang dimilikinya secara rinci. Ia ingin menjelaskan kepada mereka bahwa tak ada sepeser uang atau selembar saham-pun yang ia peroleh lewat cara tak pantas. Sementara untuk urusan “akuntabilitas” proses pengambilan keputusan, sang mantan CEO bersikap “mengambil jarak” dalam proses pengambilan keputusan terhadap urusan yang terkait dengan dirinya (baik terkait secara langsung ataupun tidak). Secara praktis, ia akan menyerahkan proses pengambilan keputusan untuk urusan seperti itu kepada sebuah tim independen, dan tidak akan campur tangan sama sekali. Apapun keputusan yang diambil oleh tim independen tersebut, ia akan terima dengan lapang hati. Penerapan etika memang tak selalu mudah, apalagi bila berbenturan dengan kepentingan pribadi secara nyata. Saat prinsip etis tak kita hidupi dengan baik, mungkin tak ada hukum formal yang memberikan sangsi dan punishment secara konkret. Demikian juga, kita mungkin bisa menyiasati dan “mengakali” prinsip etis tersebut dengan seribu argumentasi, namun yang jelas kita tak akan pernah bisa membohongi diri sendiri. “Semaksimal mungkin, saya akan selalu bertindak di atas kesadaran nurani (conscience) saya. Karena, itu yang mendatangkan inner peace di dalam hidup saya”, ujar
sang mantan CEO menyikapi persoalan etis di dalam kehidupan bisnis dan profesionalnya.