Minggu, 22 Desember 2013
Ular Tangga
Pertama kali menggeluti bidang pengembangan Sumber Daya Manusia, saya diberi petuah oleh seorang senior yang saya ingat dan hayati hingga saat ini. Kata sang senior, “mengembangkan seseorang itu ibarat bermain ular tangga”. Permainan anak-anak yang satu ini tak hanya mengajarkan kita bagaimana caranya mendaki tangga ke pencapaian yang lebih tinggi, namun sekaligus juga mengingatkan kita untuk siap menerima kenyataan di gigit ular dan melorot ke bawah lagi. Sama halnya juga, mengembangkan orang tak melulu berarti mendorong seseorang untuk meraih kesuksesan dan pencapaian yang lebih tinggi, namun juga menyiapkan yang bersangkutan untuk menerima dan menghadapi kegagalan. Buat saya, ini sebuah pesan yang sangat menarik. Karena, secara alamiah manusia lebih siap (bahkan sangat siap) untuk menyambut kesuksesan, namun sebaliknya gampang terkapar berhadapan dengan kegagalan. Orang berharap untuk menemukan “papan permainan kehidupan” yang hanya diisi oleh tangga-tangga pendakian, dan kalau bisa tak ada gigitan ular yang menyeret ke bawah. Orang ingin menikmati kesuksesan secara instan, cepat dan tanpa proses yang berliku. Masyarakat modern yang cenderung pragmatis, serba-menggampangkan dan melulu result-oriented, seringkali menghilangkan kesempatan seseorang untuk menjalani proses sebagaimana mestinya. Orang tak sabar untuk berproses, dan akibatnya tak terlatih untuk menerima dan menghadapi kenyataan kegagalan yang pahit. Anda mungkin masygul dengan asumsi ini? Mari, sesekali perhatikanlah anak-anak kecil yang sedang bermain video-game yang bersifat kompetitif, di mana anak harus memainkan tokoh (kelompok) yang bersaing atau bertarung dengan tokoh (kelompok) lainnya. Pengamatan saya menunjukkan, jika si anak dalam posisi “menang”, dengan riang gembira dia akan meneruskan permainannya hingga akhir. Namun, apa yang terjadi jika dia berada dalam posisi “kalah”? Alih-alih berjuang untuk mencari siasat dan cara mengatasi kekalahannya, yang dilakukan adalah “me-reset” game yang sedang dimainkannya tersebut ke tombol start lagi. Bagi sang anak, ini cara yang paling cepat dan instan untuk menghindar dari kekalahan alias kegagalan. Anak tidak melatih dirinya untuk menerima, apalagi berhadapan dengan kegagalan. Padahal, kita semua tahu tak ada hidup yang tak dihiasi kegagalan. Yang terjadi, kesuksesan justru acapkali dibangun di atas kegagalan, kesusahan, bahkan kadangkala penderitaan. Yang paling penting, seperti judul lagu band remaja d’Massive : “jangan menyerah!”. Mantan CEO General Electric yang paling legendaris, Jack Welch, pernah berujar “You’ve made a bad deal. The plant’s blown up. Marriages don’t work out. A variety of things don’t work. Keep going’ anyway!”. Guru saya sering berujar, kalau jatuh 10 kali, kita harus bangun 11 kali. Dengan bangkit kembali, kita tak memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk terpuruk semakin dalam. Tak perlu heran, sosok sekelas genius Steve Jobs pun bahkan pernah mengalami nasib yang jauh lebih tragis. Ia sempat ditendang keluar dari perusahaan Apple yang ia dirikan sendiri di garasi rumahnya. Bisa dibayangkan, betapa nelangsanya situasi seperti itu! Namun, apa yang terjadi? Ia memang sempat membesarkan bisnisnya yang lain, namun passion-nya terhadap Apple tak pernah padam. Ketika ia come-back memimpin Apple lagi, ia bahkan membawa semangat dan passion yang jauh lebih besar. “Orang-orang dengan passion besar bisa mengubah dunia menjadi jauh lebih baik”, demikian petuah Jobs. Kelak kitapun mengetahui bahwa ia tetap bersemangat memimpin Apple walau kondisi tubuhnya digerogoti penyakit kanker pankreas. Jobs baru benar-benar turun panggung saat tubuhnya tak sanggup lagi menopang derita penyakitnya, sebelum akhirnya meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 2011. Jobs membuktikan, sekalipun pernah kecewa didepak keluar dari perusahaan yang dirintisnya sendiri, toh ia mampu tampil kembali membawa Apple menjadi perusahaan teknologi komunikasi yang terkemuka di dunia. Bahkan, di tangan Jobs lah, nilai kapitalisasi pasar Apple menembus angka spektakuler US $ 350 milyar. Permainan ular-tangga mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan manusia tak melulu diisi dengan tangga kesuksesan, namun juga sarat dengan ular kegagalan. Hidup yang dihiasi dengan kesuksesan belaka, sangat mungkin mengantar orang pada sikap jumawa. Sebaliknya hidup yang dipenuhi dengan kegagalan, akan membuat orang menjadi putus asa. Justru kombinasi antara kesuksesan dan kegagalan lah yang membuat orang menjadi semakin bijaksana. “Kita hanya bisa menghargai hangatnya sinar matahari, jika pernah basah kuyup kehujanan”, demikian pesan yang disampaikan oleh guru saya. Inventor akbar sekelas Thomas Alva Edison, ternyata juga harus beribu kali menerima kenyataan eksperimen yang gagal, sebelum ia pada akhirnya berhasil menemukan lampu pijarnya yang fenomenal. Terhadap pengalaman kegagalannya ini, ia hanya berujar : I have not failed. I've just found 10,000 ways that won't work”. Jadi, ada benarnya jika kita mendengar ungkapan klise, “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”. Kegagalan bukan untuk diingkari dan dijauhi, namun justru untuk dipelajari dan dimaknai sebagai bagian dari perjalanan menuju kesuksesan baru.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar